Kamis, 08 Juli 2010

40. CINGKE, PAK GUBERNUR, CINGKE !

SURAT TERBUKA UNTUK GUBENUR SULUT

Willy H. Rawung
MANADO POST 11 Juli 2002

SAYA kira bapak sudah cukup maklum bahwa petani cingke (cengkih) Sulut sedang bernasib malang. Harga yang dipatok pembeli telah di'terjunbebas'kan dari sekitar Rp 80 ribuan per kilo menjadi Rp 20 ribuan. Konon akibat dari kombinasi antara panen raya dan ulah spekulan yang membanjiri pasar dengan cingke impor. Tetapi apakah Bapak cukup sadar bahwa jika soal ini tidak segera diatasi dapat menimbulkan akibat-akibat yang cukup serius?

Prof. Adolf Sinolungan dan kawan-kawan dari Tim Petani Cengkih memang telah menggedor Komisi V DPR, Dirjen Pedagangan Luar Negeri, Dirjen Pedagangan Dalam Negeri, Dirjen Perkebunan serta beberapa fraksi partai di Senayan. Tapi apa itu cukup? Di negara seperti ini, di mana KKN (korupsi-kolusi-nepotisme) masih bersimaharajalela, penghormatan kepada hukum masih di bawah standar dan pemerintah yang cenderung lebih berpihak kepada para produsen rokok sebagai pembayar cukai ketimbang kepada petani, Tim ini hanya berhasil mendapat janji pelarangan impor cingke. Dan tiada yang dapat menjamin bahwa itu bukan janji-janji kosong belaka. Sebab apa Pak Gubernur, kita sama-sama tahu bahwa anjloknya harga cingke bukan semata-mata soal ekonomi belaka. Banyak sekali pihak-pihak berkepentingan yang mengambil keuntungan dari situasi ini.

Ya, siapa yang dapat menjamin pengawasan atas larangan ini, jika mobil mewah saja bisa diselundupkan seenaknya dengan melibatkan pejabat Negara. Produk elektronik selundupan dari Cina membanjiri pasar, BBM untuk keperluan lokal bisa dijual ke luar negeri, maka apalah artinya cingke, yang bukan kebutuhan pokok itu. Di bisnis yang bergelimang uang, jangan harap akan ada pengawasan yang efektif dari aparat pemerintah.

Bapak telah pergi ke Amerika Serikat dan Eropa mengkampanyekan Sulut sebagai daerah paling aman di Indonesia dan dihuni 'anak-anak manis' sehingga ideal bagi investor asing. Tetapi pak, kampanye bapak terancam bisa menjadi kebohongan publik, jika akibat rendahnya harga cingke menyulut hal-hal yang tidak diinginkan seperti terjadi di daerah-daerah lain. Peristiwa di pelabuhan Cirebon, misalnya, di mana sekitar 1.500 petani dan penebang tebu serta pekerja pabrik gula yang marah menyerbu sebuah gudang, bahkan nyaris membakarnya karena berisi 3.000 ton gula pasir impor, harus menjadi pelajaran. Walau masyarakat Sulut adalah manusia santun yang tahan menderita, religius dan tak sampai hati berbuat anarki. Tidak berarti bapak hanya boleh berpangku tangan memandangi fenomena ini.

Pak Gubernur, barangkali bapak masih ingat, ketika ahasiswa-mahasiswa Jakarta jatuh bangun berdarah-darah berdemonstrasi menjatuhkan rezim Soeharto dan mendirikan Orde Reformasi, sebagian besar rekan-rekan mereka di Sulut menentang gerakan-gerakan itu atau memilih sikap 'safety first', tinggal di kampus dan menjadi penonton saja. Tetapi tidak berarti mereka akan diam seribu bahasa jika nasib petani cingke kian menderita.

Ketika pasca PERMESTA kita tidak melahirkan lagi generasi pemberani dan pemberang seperti generasi Sam Ratulangi, Daan Mogot dan Lambertus Nicodemus Palar, tak berarti generasi muda Sulut memilih menjadi pecundang jika nasib petani cingke kian runyam.

Maka itu Pak Gubernur, jika bapak dalam setahun puluhan bolak-balik ke Jakarta, seharusnya saat ini bapak tinggal saja barang sebulan dua bulan di kantor Perwakilan Pemda Sulut di Jakarta memperjuangkan nasib petani kita, dan tidak pulang sebelum berhasil.
Sebab daripada merenung-renungkan deposito Rp. 72 milyar, lebih baik bapak segera membangun "Crisis Center" di situ sebagai pusat pengendalian perjuangan. Sertakan seluruh potensi masyarakat Sulut di Jakarta. Lalu bersama-sama seluruh anggota DPRD dan potensi masyarakat lainnya, bapak sampaikan aspirasi petani cingke langsung kepada Presiden Megawati, Wakil Pre-iden Hamzah Haz, Ketua serta Wakil-Wakil Ketua MPR dan DPR, Ketua-Ketua Partai. Dan lakukan lobi intensif dengan asosiasi pabrik rokok atau pengguna cingke. Pokoknya hubungi dan ajak dialog semua pihak yang terkait dengan masalah ini.

Intinya Pak Gubernur, bapak harus segera menyatukan seluruh potensi masyarakat Sulut di daerah dan di luar daerah untuk berjuang bersama bahu-membahu, di mana bapak menjadi pemimpin dan pengendali utama.

Jika benar pemerintah pusat mengeluarkan larangan impor, bentuklah satuan-satuan tugas dari unsur-unsur LSM untuk mengawasi kebijakan publik itu agar tidak timbul kecurangan dan kebohongan. Sebab yang kita hadapi adalah gabungan para spekulan dengan para konglomerat pemodal besar plus pabrikan-pabrikan rokok yang sebagian besar sudah
go public dan saham-sahamnya diperjualbelikan di Pasar Modal.

Maka itu segera juga keluarkan biaya operasional dari Deposito Rp.72 milyar itu untuk memperjuangkan nasib rakyat petani cingke. Sebab mereka benar-benar sedang menghadapi keadaan yang sangat-sangat darurat. Saya yakin biayanya tidak akan lebih besar dari nilai yang Bapak keluarkan ketika berkunjung ke luar negeri, juga akan lebih kecil dari biaya-biaya studi banding dari anggota-anggota DPRD yang gemar pesiar ke luar daerah.

Setelah dua tahun menjadi penguasa, saya tetap berharap Bapak dapat menjadi pemimpin rakyat Sulut dalam artian sebenarnya. Karena sudah lama Sulut menantikan kehadiran seorang pemimpin. Untuk itu tiba saatnya bapak berhenti menjadi sekedar semacam General manager pemerintahan daerah yang memilih bersikap diam mengabaikan kritik masyarakat dengan berlindung di bawah naungan Partai.

Akhirnya saya mohon maaf jika surat terbuka ini sepertinya terasa memarahi atau menggurui bapak. Tuhan kiranya tetap menyertai Bapak dan keluarga. Terima kasih. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar