Kamis, 08 Juli 2010

38. MINSEL-TOMOHON KHIANATI AMANAT WATU PINAWETENGAN?

Willy H. Rawung
MANADO POST, 4-6 Juni 2002


TANGGAL 13 Mei 2002 yang lalu dengan surat bernomor RU.02/2208/ DPR/RI/2002, Sekjen DPR RI mengedarkan kepada seluruh Anggota DPR RI berkas Rancangan Undang-Undang (RUU) usul inisiatif pembentukan Kabupaten Minahasa Selatan (MinSel) dan Kota Tomohon, bersama-sama dengan Kabupaten Halmahera Timur dan Kota Tidore.

Apabila tingkat-tingkat pembicaraan dalam proses mekanisme berjalan lancar maka pada bulan Juli 2002 mendatang mestinya Rapat Paripurna DPR RI sudah dapat mensahkan RUU tersebut. Dan kalau pun sampai mengalami kendala-kendala teknis, maka kelahiran kabupaten dan kota ini akan molor paling lambat sampai bulan September.
Singkat kata, hampir dapat dipastikan dalam tahun ini juga MinSel dan Tomohon sudah memiliki manajemen pemerintahan daerah sendiri yang lepas dari Kabupaten Minahasa.

Dengan proses ini cukup jelas pemekaran MinSel dan Tomohon bukan main-main, sekedar coba-coba atau semacam
trial & error. Sebab selain harus memenenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan Undang-Undang, pemekaran ini adalah langkah manajemen yang mutlak diperlukan mengingat dengan 38 Kecamatan yang kini dimilikinya, Kabupaten Minahasa sudah benar-benar overloaded. Bandingkan dengan Kabupaten Bangka dan Halmahera Timur yang hanya memilkiki 4 Kecamatan.

Pemekaran MinSel–Tomohon tentu tidak dimaksudkan untuk semata-mata kepentingan rakyat MinSel–Tomohon saja tetapi untuk Minahasa dan Sulawesi Utara bahkan untuk Indonesia. Sebab sejarah pun telah mencatat bahwa rakyat MinSel, misalnya, tidak pernah berpikir untuk mengangkangi wilayahnya untuk dirinya sendiri saja. Tengoklah wilayah Tompaso Baru dan Modoinding yang menjadi wilayah kolonisasi untuk saudara-saudaranya dari wilayah Minahasa Tengah.

Bahkan penulis sendiri adalah generasi ketiga yang mendiami desa Paku Ure, setelah moyang kami bermigrasi dari wilayah Sonder. Sehingga sama sekali tidak benar jika pemekaran MinSel-Tomohon boleh dihujat sebagai seolah-olah "pengkhianatan" terhadap amanat kultural
Watu Pinawetengan (Manado Post 15/5/02).

Wacana ini jelas tidak rasional dan tidak mimiliki akarnya dalam tradisi kultural Minahasa. Salah satu peribahasa kuno Minahasa berbunyi :
Sa Cita Esa, Telu Cita - Sa Cita Telu, Esa Cita (terjemahan bebas : Kita bersatu, karena kita bertiga – Kita bertiga, karena kita bersatu). Substansinya dalam pemikiran moderen adalah ikatan kultural bersifat lintas batas kewilayahan (borderless), tidak dapat dipisahkan oleh sekat-sekat apa pun, apalagi oleh sekat manajemen pemerintahan.
Hal yang juga dinampakan oleh para Kawanua yang "tumani" di perantauan
(diasphora) seluruh dunia, yang dalam beberapa hal justru lebih kokoh mempertahankan dan memelihara ikatan adat dan kesatuan kultural dengan tanah leluhur, karena memang tidak mungkin ikatan adat dan tradisi kultural ke-Minahasa-an dapat dimusnahkan oleh tempat kita berdomisili.


Sebab itu pemekaran Tanah Toar Lumimuut menjadi dua atau - bahkan - tiga kabupaten atau dua kota lagi, tidak perlu menjadi kekuatiran kultural. Penulis amat yakin tentang hal ini, sebagaimana keyakinan masyarakat Minahasa mempersembahkan Bitung dan Manado menjadi kota-kota berpemerintahan sendiri yang lepas dari manajemen pemerintahan Kabupaten Minahasa.

***

Amanat
Watu Pinawetengan yang diamanatkan turun-temurun sebagai Nuwu i Tua (Nuwu = ucapan atau sabda. Tua = Sang Pemimpin), lengkapnya adalah sebagai berikut :

Sapake si koyoba'an anio, tana ' ta imbaya!
Asi èndo makasa, sa mè è si ma'api
Wètèngen ing kayoba’an !
Tumani è kumeter
Mapar è waraney
Akad sè tu'us tumou o tumou tou

Terjemahan bebas : Bahwa tanah tumpah darah ini, ialah milik kita semua. Bila pada saatnya, sang burung manguni memberi tanda. Bagi-bagikanlah itu, wahai para pemimpin. Bagi-bagikanlah tanah ini. Bukalah lahan pertanian baru, wahai pemimpin kerja. Kuasailah itu, wahai serdadu perkasa. Agar keturunan kita dapat hidup dan memberi hidup.
Cerita guru tua KB Masinambouw yang banyak persamaannya dengan kisah Pastor Domsdorff, dan menjadi sumber utama artikel Mr FD Holleman dalam “De verhouding de gemeenschap-pen-familie, dorp en district in Minahasa,”Ind. Gen. 1929 - Bert Supit dalam “Minahasa, Dari Amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Mi-nawanua”, Penerbit Sinar Harapan, 1986).

Menurut Supit, sekurang-kurang-nya telah terjadi dua kali
Nuwu i Tua. Pertama, dilakukan oleh keturunan Toar-Lumimuut. Kedua, setelah migrasi subetnik Tou Singal (kemudian dikenal sebagai : Tondano) dari pulau Tidore yang mendarat di Tanjung Pulisan dan diizinkan oleh walak Tounsea untuk mengapar (menguasai) daerah yang kini dikenal sebagai Tonsea Lama.

Disusul migrasi subetnik Tounsini atau Tounsingin (Tounsawang), juga dari pulau Tidore
(N Graafland – Bert Supit, ibid). “Penerimaan baik leluhur Toar-Lumimuut terhadap dua subetnik pendatang tersebut adalah sebab Tondano dan Tonsawang menerima totalitas dan kesahihan Nuwu I Tua sebagai persyaratan adat untuk berserikat dalam keturunan Toar-Lumimuut. Dengan tunduknya Tondano dan Tonsawang terhadap Nuwu, kehadiran kedua subetnik itu di Minahasa menjadi sahih yang memberi kepada mereka hak-hak hidup dan hak-hak perlindungan wilayah, termasuk hak-hak menjadi "anak-anak keturunan Toar-Lumimuut", tulis Supit selanjutnya.

Perang Tondano (1808-1809) adalah contoh klasik yang tiada duanya tentang kepatuhan terhadap
Nuwu i Tua, yakni ketika seluruh Minahasa - termasuk Tondano - menabalkan Lontho ukung Kamasi Tomohon sebagai pemimpin peperangan. Sementara Tewu dan Matulandi – yang nota bene dari Tondano - berada di lini kedua.

Penabalan Lontho membuktikan bahwa
Nuwu adalah pemersatu seluruh subetnik seantero Minahasa dalam perang melawan kolonial yang amat berdarah itu. Bahwa Lontho yang Toumbulu terpilih sebagai pemimpin Perang Tondano karena ia memang lebih kredibel dari yang lain untuk jabatan tersebut, harus diteladani sebagai kesadaran nilai yang luar biasa dari para leluhur Minahasa.

Dapat dibayangkan jika ketika itu Tondano menolak Lontho karena alasan naif, semisal mempermasalahkan asal usul subetniknya yang dari Tomohon, maka hancur luluhlah tatanan
Nuwu i Tua dan musnah juga "batu penjuru" yang membuat seluruh subetnik di Minahasa ketika itu hidup dalam kesatuan, ketenteraman dan harmoni.
Syukurlah para leluhur belum mengenal penyakit politik praktis yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam kenaifan etnosentrisme yang dapat mengakibatkan Minahasa pecah tercabik-cabik sebelum bertempur melawan Belanda


Bahwa kepatuhan kepada tatanan
Nuwu i Tua juga terlihat ketika para pejuang itu porak poranda dibantai Belanda dan sisanya menyingkir ke dalam hutan-hutan (tumalun) di wilayah MinSel. Mereka semua disambut dengan hangat dan banyak yang tidak kem-bali lagi ke asalnya dan memilih menetap turun temurun di wilayah MinSel. Pengalaman yang sama dapat pula ditanyakan kepada para pejuang PERMESTA dari wilayah Minahasa Tengah dan Utara yang pada umumnya menyingkir ke wilayah MinSel. Apakah mereka pernah ditolak hanya karena mereka berasal dari Tondano atau Remboken, misalnya? Tidak, sama sekali tidak! Karena jiwa Nuwu i Tua itu tegas menyatakan Sapake si koyoba'an anio, tana'ta imbaya (Bahwa tanah tumpah darah ini, ialah milik kita semua)!

Bukan itu saja. Jiwa dan semangat
Nuwu inilah pula juga yang telah mendorong lahirnya pemukiman-pemukiman Minahasa di seluruh Nusantara bahkan di beberapa bagian dunia. Yang kendati berhadapan langsung dengan tatanan moderen, tetap terpanggil untuk berserikat, ber-Kawanua, seperti nampak pada terorganisasinya para Kawanua berdasar taranak dan roong di seluruh Tanah Air, Eropa dan Amerika Serikat.

Maka sungguh amat memprihatinkan membaca wacana yang memahami substansi Amanat
Watu Pinwetengan secara di luar konteks, dengan menyatakan seolah-olah pemekaran MinSel-Tomohon adalah “pengkhianatan” terhadap Amanat Watu Pinawetengan.
Padahal jika kita mau sedikit saja memahami substansinya, dengan menangguhkan pemekaran Kabupaten Minahasa yang kini telah jenuh dengan 38 kecamatan itu, kita justru telah menyimpangkan Amanat itu. Sebab jika kita setia mengikuti tradisi kultural Minahasa, di mana
Nuwu i Tua pertama hanya menyangkut leluhur Toar–Lumimuut dan Nuwu i Tua kedua setelah Tondano dan Tonsawang diterima dalam keturunan Toar–Lumimuut, maka kita seharusnya memandang Nuwu i Tua ketiga saat kita memekarkan Kota Manado sebagai ibukota provinsi Sulut dan Nuwu i Tua keempat ketika kita memekarkan Bitung menjadi Kota. Lalu pemekaran MinSel-Tomohon ini mestinya kita terima sebagai Nuwi i Tua kelima.

***

Untuk itu saudaraku para Kawanua, substansi
Nuwu i Tua jelas melarang kita, manusia Minahasa, menjadi manusia subetnosentris, semacam MinSelsentris, Amurang-sentris, Tondanosentris, Tomohonsentris, Tounseasentris, Manadosentris, Bitung-sentris atau yang sejenisnya. Berapa kali pun kelak kita melakukan pemekaran sesuai tuntutan dan perkembangan manajemen pemerintahan daerah, hendaknya kita tidak lagi mengaitkannya secara salah kaprah kepada subsantsi Amanat Watu Pinawetengan itu. Apalagi menaifkannya sebagai argumentasi untuk wacana bertujuan politik praktis yang hanya menguntungkan diri sendiri, kelompok atau golongan.

Mari kita hentikan dan tidak memberi peluang bertunasnya kenaifan subetnosentrisme itu. Apalagi dengan wacana-wacana yang bersifat menghujat, seperti “pemekaran MinSel-Tomohon pengkhianatan terhadap
Amanat Watu Pinawetengan” atau “menyudutkan Tondano”, “infrastruktur harus dikembalikan ke Tondano” dan yang sejenisnya. Percayalah saudaraku, mengembangkan wacana-wacana demikian adalah sia-sia, kontra produktif dan merugikan kesatuan kultural kita sendiri, etnik Minahasa! #

1 komentar: