Senin, 05 Juli 2010

35. GUBERNUR SULUT TAHUN 2000

Willy H. Rawung
MANADO POST 23 September 1999

BILA Prof. Ishak Pulukadang tertarik pada hubungan antara pemenang pemilu dengan calon presiden (MP 7/7/99), maka saya lebih suka mengamati relasi antara pemenang pemilu di Sulut dengan siapa gubernur baru yang akan dilantik pada bulan Maret tahun 2000 nanti.

Ketertarikan saya mengamati kursi gubernur disebabkan oleh, pertama, sesuai kelaziman formal, bulan September depan E.E. Mangindaan mesti mengajukan permohonan pengunduran diri terhitung bulan Maret tahun 2000.
Alasan kedua, telah saya kemukakan saat menyambut Musdalub Partai Golkar Sulut dalam artikel "Ketua DPD Golkar Sulut 1998-2003 Potensial Jadi Gubernur Tahun 2000"
(MP 26/9/98). Di situ saya menyatakan jika sukses meraih 40 % suara dan mampu menjalin koalisi dengan PDI-P, maka ketua Partai Golkar Sulut potensial menjadi gubernur. Sebab dengan kian menguatnya tuntutan masyarakat akan otonomi daerah yang seluas-luasnya, gubernur tak lagi sertamerta diputuskan oleh Jakarta. Bupati/walikota pun tak lagi diputuskan oleh gubernur atau Jakarta. Sebab DPRD sesudah era Soeharto akan benar-benar berkuasa menetapkan gubernur dan bupati dalam arti sesungguhnya. Sehingga tak akan ada lagi jenderal “kage-kage” (surprised) yang dikirim jauh-jauh dari luar daerah sehinga perlu sok akrab, mengenal-ngenalkan atau mengakrab-akrab-akrabkankan diri dengan rakyat, lantaran ia “orang asing” yang tak dikenal rakyat.
Tak ada lagi serdadu “terpaksa” atau "bapaksa" jadi gubernur sebab “diperintah atasan”. Walau
bagitu so ta dudu, mo suka-suka trus kadua kali (kecuali G.H. Mantik yang walau diminta, tetap konsekwen menolak menjabat dua kali periode).

Analisis saya setahun lalu ternyata pas. Kini Partai Golkar berhasil meraih 19 kursi (42,2 %) dari total 45 kursi DPRD. Berkoalisi dengan PDI-P yang meraih 9 kursi (20 %) akan mengakumulasikan 62,2 % suara yang memastikan kemenangan calonnya untuk duduk di kursi gubernur. Koalisi dengan PDI-P bisa juga dengan mendukung kursi ketua DPRD untuk Freddy Sualang (Ketua PDI-P), misalnya. Sebab Golkar sendiri selain harus mempertimbangkan suara PDI-P di tingkat lokal, juga mesti realistik terhadap kemenangan PDI-P secara nasional. Maaf, disini saya tidak mempertimbangkan 5 kursi gratis yang diberikan kepada TNI, sebab lebih baik mereka berkonsentrasi pada tugas pokoknya dan bersikap netral (abstain) dalam pemungutan suara nanti.

Dalam pada itu dengan diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dimana DPRD hanya memerlukan konsultasi dengan Presiden - itu pun lebih bersifat formalitas - maka boleh dikata mekanisme penentuan gubernur 90 prosen ditentukan DPRD. Paralel dengan pemilihan bupati/walikota, dimana DPRD juga hanya memerlukan konsultasi dengan Presiden. Tidak lebih dari itu. Zaman di mana gubernur selaku orang nomor satu dalam jalur ABG-Golkar memaksa-maksakan kehendak kepada DPRD sudah usai. Pengalaman pahit dalam pemilihan bupati Minahasa lalu yang menyingkirkan AJ Sondakh, misalnya, tak akan terulang.

Dengan substansi demokrasi seperti ini, mustahil Jakarta berani menolak hasil pilihan DPRD. Karena, seperti kata peneliti LIPI Syamsudin Haris, semasa rezim Soeharto, intergrasi dan stabilitas yang dicapai adalah intergrasi dan stabilitas semu yang diraih melalui strategi kooptasi atas elite lokal, represi terhadap aspirasi alternatif dari masyarakat, dan pemberian ganjaran ekonomi serta kekuasaan bagi mereka yang mendukung tetap tegaknya otoritarianisme. Maka ketika negara tidak sanggup lagi membiayai dan mempertahankan otoritarianisme politik, harmoni dan integrasi semu Orde Baru berangsur-angsur runtuh pula. Akibatnya akumulasi kekecewaan daerah pun memicu potensi disintegrasi seperti terjadi di Aceh, Riau, Irian Jaya dan Timor Timur.
Dalam negara yang tengah bergolak dan mengalami transisi, kata Syamsudin lagi, potensi disintegrasi bisa bersumber dari berbagai faktor, seperti struktur politik yang sentralistik dan menafikan aspirasi lokal di satu pihak, dan di pihak lain cenderung korup, kolusif, nepotis dan monopolitik, yang bisa jadi memperbesar potensi disintegrasi tersebut.

Dalam kesetujuan atas hasil penelitian di atas, adalah tidak realistik bila DPRD masih mau direkayasa memilih 'kucing dalam karung' yang didrop begitu saja dari Jakarta. Dan tak logis pula bila mereka memilih orang yang sama sekali tidak dikenal dan tidak mengakar dalam masyarakat. Apalagi kualitas DPRD hasil pemilu 1999 lumayan baik ketimbang DPRD era Soeharto yang nepotis.

Nah, dengan logika politik di atas, nampaknya tiada ada lagi aral melintang yang dapat menahan Adolf Jouke Sondakh ketua Partai Golkar Sulut, menduduki kursi gubernur pada sekitar 7-8 bulan lagi. Terkecuali - tentu - bila yang bersangkutan sendiri tidak bersedia. Atau ia sendiri dengan rela melicinkan jalan bagi kader lain menggantikannya menjadi orang nomor satu Sulut. Namun kemungkinan ini nampaknya amat kecil. Sebab setelah dihadang secara kasar dalam pemilihan Bupati Minahasa, politisi kawakan putera Tountemboan ini agaknya tak memiliki pilihan selain memanfaatkan peluang emas untuk melakukan
strikes back.

Bagaimana peluang EE Mangindaan? Dalam beberapa kesempatan Mangindan sering menegaskan kepada khalayak bahwa ia hanya bersedia memimpin Sulut untuk satu periode saja. Kendati pidato-pidato semacam itu - pada awal jabatan - terasa kurang bijaksana, namun sikap itu tidak terlalu mengejutkan, mengingat kehadiran gubernur-gubernur tentara sepanjang era Soeharto umumnya berlandaskan instruksi atasan. Bukan atas 'instruksi' rakyat. Di mana DPRD era Orde Baru lazimnya tak lebih dari stempel pos yang hanya menaminkan instruksi atasan itu dalam suatu kemulusan rekayasa politik berlabel "demi hati nurani rakyat".

Namun meski beliau sudah menegaskan hanya untuk satu periode saja, tetapi ya namanya saja Sulut. Lain gubernur, lain elite politik. Jajaran elite politik Sulut boleh dikata mahabintang di blantika politik praktis di Indonesia. Contoh, hari ini mengejutkan masyarakat nasional dan internasional dengan pernyataan "pemilu di Sulut harus diulang". Eh tiba-tiba saja entah mengapa, justru yang lebih dulu "okay" terhadap hasil Pemilu.

Sebab itu dalam permainan politik ini, meski Mangindaan enggan menjadi gubernur lagi, bisa saja elite politik tertentu membentuk 'tim sukses' untuk tetap mencalonkan beliau. Bisa pula besok-besok sekelompok massa mengatasnamakan 'rakyat' dari berbagai kecamatan direkayasa melakukan pressure dalam bentuk runjuk rasa mendukung beliau. Atau mungkinkah Partai Krisna Sulut mencalonkannya lagi, setelah gagal mengusulkan Mangindaan sebagai calon Presiden RI keempat?

Kalau toh permainan jenis ini terjadi juga, pencalonan kembali Mangindaan pasti akan dihadang PDI-P, seperti ditegaskan Freddy Sualang kepada saya melalui telpon berberapa hari lalu. Sikap ketua PDI-P Sulut ini relevan dengan isi pidato Megawati yang menjanjikan penegakkan supremasi sipil dalam pemerintahan baru mendatang. Sementara bagi Partai Golkar sendiri yang konon sudah berparadigma baru, saya pun kurang yakin jika mereka masih mau mengedepankan supremasi serdadu ketimbang memilih bosnya sendiri.

Bagaimana dengan
money poltics? Alkitab menyatakan, "akar segala kejahatan adalah uang". Maka jangan heran bila segala analisis dan logika politik di atas bisa saja dipelintir oleh apa yang disebut money politics (politik uang).

Dalam praktek politik yang tidak beradab itu hitungannya adalah pembelian suara. Misalnya, sang calon pejabat menginvestasikan Rp. 2,3 milyar untuk membeli 23 suara mayoritas anggota DPRD (Rp.100 juta per suara). Dalam tempo lima tahun investasi itu akan kembali berlipat ganda melalui mekanisme KKN (korupsi-kolusi-nepotisme). Kalau tidak punya uang, biasanya ada saja investor yang bersedia memberi dana talangan dengan jaminan diberikan proyek-proyek besar setelah sang calon menduduki jabatan.

Secara hukum, praktek
money politics, KKN, amat sulit dibuktikan apatah lagi yang bermuatan konspirasi politk, mustahil diajukan ke pengadilan. Kendati dengan kasat mata kita dapat menyaksikan di sekitar kita tidak sedikit pejabat birokrasi berkehidupan ekonomi jauh melebihi gaji formal yang diterimanya dari negara. Yang bila kritik dilayangkan oleh para mahasiswa reformis, jawabannya adalah, "Mana bukti, ngoni pe doi so ?". Padahal seperti kata Pradjoto yang membongkar dugaan money politics dalam kasus Bank Bali, uang hasil korupsi itu akhirnya toh ditransformasikan ke atas pundak seluruh rakyat dengan berbagai cara dan mekanisme.
Maka bila permainan celaka ini diterapkan dalam pemilihan gubernur kelak,
so pasti uang itu akan dibebankan kepada seluruh rakyat Sulut dengan berbagai cara.

Semasa rezim Orde Baru,
money politics, KKN dan yang sejenis adalah sah-sah saja. Akibatnya bangsa dan negara mengalami keterpurukan ekonomi secara dahsyat dan membuat rakyat amat menderita. Dalam pemilu lalu, akar kejahatan ini juga sering disebut-sebut sebagai “hantu” yang nyaris menggagalkan pemilu. Bukan hanya itu, dalam pemilihan presiden di MPR nanti, Freddy Sualang pun telah mengkhawatirkan kemungkinan mainan tak beradab itu akan mengganjal Megawati.

Harapan saya, meski Sulut dianggap oleh masyarakat luar daerah sebagai salah satu benteng kekuatan
status quo di wilayah timur Indonesia, kiranya permainan kelaziman rezim Orde Baru itu tidak diberlakukan dalam pemilihan gubernur kelak. Semoga.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar