Senin, 05 Juli 2010

34. SELAMAT JALAN, KNPI DAERAH !

Willy H. Rawung
MANADO POST 3 November 1998

MENTERI Negara Pemuda dan Olahraga Agung Laksono menyatakan organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di tingkat provinsi dan kabupaten harus dihapus sebagai bagian reformasi struktural yang harus dilakukan KNPI. "KNPI harus mengembalikan dirinya sebagai wadah berhimpun ormas pemuda di tingkat pusat, bukan membentuk diri seperti ormas pemuda lain melalui pembentukan Dewan Pimpinan Daerah (DPD)", katanya.

Bagusnya, Pak Menteri mengucapkan pernyataan itu di depan masyarakat beradab dan berbudaya: Kongres VII Bahasa Indonesia di Jakarta, sebagaimana dikutip
Kompas (28/10) dari Antara.

Kalau diucapkan di Manado, saya khawatir beliau akan didemonstrasi pemuda-pemuda pro status quo yang akhir-akhir ini begitu menganggap KNPI sejenis organisasi "sakral" (suci). Yang kalau dikritik sedikit saja langsung dihadapi dengan - istilah Katamsi Ginano - ideologi "kepalan dan urat leher", sebagaimana dialami
Manado Post dan Radio Smart FM, Juni lalu. Hanya karena mereka menyiarkan berita-berita tentang "Pokja Pasiar", atau berhadapan dengan ancaman "dorang mo dola pa ngana" seperti saya alami akibat menulis "Proposal Reformasi KNPI" (MP 7/7).

Dalam artikel itu saya menggambarkan KNPI sebagai ormas yang didesain sebagai "wahana pengembangan wawasan pemuda demi kesinambungan Orde Baru", telah mengidap hampir semua penyakit rezim Soeharto. Seperti sekadar menjadi 'paspor' segelintir fungsionaris produk nepotisme menuju anggota DPR/DPRD, kontraktor, pengusaha dadakan, birokrat dan Pengurus Golkar, ketimbang menjadi komunikator dan wadah kaderisasi pemuda Indonesia sebagaimana tujuan pembentukannya dulu.
Menjadi tempat kumpul-kumpul aktivis pemuda yang 'lupa kacang akan kulitnya'. Menjadi tempat titipan elit politik untuk anak-sanak-saudara-kemenakan mereka yang akan meniti 'jalan bebas hambatan' menuju kedudukan politik. 'Ditunggangi' atau diperalat sebagai perangkat politik praktis bagi kepentingan sesaat pembina dan elit politik. Sehingga lebih suka membangun akses dengan 'bos', melapor dulu, minta petunjuk, restu atau pujian dulu, minta duit dulu, sebelum melaksanakan program. Yang pada gilirannya jadi serba takut, takut salah, takut ditegur, takut dicap 'pembangkang', takut tidak duduk di DPRD dan jenis 'takut-takut lain'.
Aktualisasi program pun jadi lebih aman meniru birokrasi, seperti suka hal-hal seremonial (upacara), berkualitas 'gincu' bukan 'isi', 'aksi' bukan 'nasi'. Yang hanya menciptakan kader-kader 'ingin cepat enak', kader hedonis, menomorsatukan kenikmatan, lemah etos kerja, miskin nilai, kader - istilah dr Daniel Masengi - 'penjilat' penguasa, kader picik berpikir dan kader bertuhankan materialisme. Jauh dari kualitas kader bangsa seperti dicita-citakan para pendiri Republik.

Dalam artikel lalu itu sebenarnya saya masih berpendapat kendati dipenuhi penyakit rezim lama, KNPI masih memiliki arti strategis jika saja ia mampu memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Terutama dalam menghadapi provokasi kaum KKN yang berlindung di balik isu-isu desintegratif SARA (suku-agama-ras-antargolongan).

Namun penyakit rezim Soeharto agaknya telah sampai pada ibarat kanker berstadium tak terobati. Apalagi mereka cukup keras kepala, tak mau dioperasi dengan pisau bedah 'reformasi internal'. Maka ibarat pasien yang sedang menunggu ajal, ormas ini pun akhirnya kehilangan akal sehat.

Lebih parah lagi, organisasi yang duduk di barisan penonton saat mahasiswa prodemokrasi dan LSM-LSM 'memberhentikan' Presiden Soeharto itu sekonyong-konyong mencoba menjadi pemain lapangan. Berganti kulit seolah-olah proreformasi, dengan meninggalkan mahasiswa prodemokrasi dan reformator sungguhan, yang selama ini berhadapan langsung secara fisik dengan aparat keamanan.

Mereka mencoba memetik 'buah' tanpa mau kerja keras menanam. Bahwa pada dasarnya mereka bukan reformator prodemokrasi, tampak pada sikap berdiam seribu bahasa ketika dihadapkan pada kasus-kasus kekerasan politik yang mengorbankan generasi muda prodemokrasi. Semisal Insiden Boulevaard dan tindak kekerasan aparat terhadap demo mahasiswa Unsrat/IKIP 28 Oktober lalu.

***

Sebelum dihapus, KNPI daerah memang mulai ditinggalkan anggotanya. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Aceh sudah menarik diri dari keanggotaan DPD-I KNPI setempat. Buat mereka eksistensi KNPI dianggap makin tidak jelas, kian surut, dan kiprahnya tidak bersentuhan lagi dengan dinamika kepemudaan secara kualitatif. Ia telah benar-benar lepas dari 'rumah' sosialnya
(Kompas, 28/10). Hal ini dapat dipahami mengingat KNPI tak berdaya dan no comment atas ekses-ekses DOM (Daerah Operasi Militer) yang melahirkan janda-janda dan anak-anak yatim di daerah ini.

Dalam bahasa politik berbeda, Menteri Agung Laksono sependapat dengan pengunduran HMI serta kritik-kritik terhadap KNPI. Maka ia memerlukan menghapus saja riwayat KNPI daerah. Dengan ditamatkannya eksistensi DPD I dan DPD II dari ormas ciptaan orde Soeharto ini, terhapus pula satu subsistem keropos dalam pembinaan kepemudaan kita, yang melicinkan jalan bagi berlangsungnya diskursus tentang gagasan 'Indonesia Baru' - suatu diskursus pencarian paradigma baru, sistem baru, sebagai jawaban masa kini dan masa depan bangsa Indonesia.

Wujud baru yang bersyarat utama pada demokratisasi, di mana semua potensi bangsa dimungkinkan untuk memberi warna dan wujud terhadap sistem baru, dan memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengimplementasikan, serta memiliki hak dan kewajiban yang sama pula untuk merawat, memperbaharui atau menggantinya dengan sistem yang lebih baru lagi. Sehingga 'Indonesia Baru' kelak didiami oleh warga yang berkarakter kebudayaan Indonesia, tetapi bersahabat dengan peradaban dunia. Bisa makan
McDonald, berjeans, berdasi, mengendarai mobil BMW atau Mercedes, menenteng notebook dan berhandphone, tetapi tetap doyan tinutuan, punya apresiasi yang wajar terhadap seni budaya tanah air, punya kebanggaan terhadap tanah leluhur dan taat beribadah" (Suhendro Boroma, MP 27-28/10).

Dalam 'Indonesia Baru' terdapat masyarakat kepemudaan yang kultural, intelek, modernis, demokratis, taat hukum dan religus. Bukan sejenis generasi amuk dan kekerasan tipikal pendudukan
Manado Post, Radio Smart FM dan pengeroyok aktivis Tino Kariso - Hamid Bula, yang oleh Katamsi Ginano disebut sebagai, "orang-orang yang lebih pantas dikasihani daripada dimurkai. Gerombolan manusia dengan pengetahuan sebesar kacang polong dan urat-urat terentang yang siap mempertahankan keyakinan salah sekalipun. Orang-orang yang tak menyisakan tanda-tanda manusia bersekolah".

Dari pengalaman dan fakta-fakta ber-KNPI, kita berharap Menpora Agung Laksono segera mewujudkan niat politik itu, yakni cepat-cepat menamatkan riwayat DPD KNPI di Dati I dan seluruh Dati II. Sebab bagi Sulut penghapusan ini berarti berakhirnya tekanan politik pada generasi muda prodemokrasi di daerah. Atau paling tidak, menghilangklan salah satu 'batu sandungan' dalam proses demokratisasi generasi muda yang pada akhirnya akan menyurutkan intensitas amuk dan kekerasan politik, yakni suatu
trade mark (merek dagang) baru yang mulai jadi patron generasi muda bumi Nyiur Melambai.
Yah, syukurlah badai KNPI daerah akan berlalu. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar