Minggu, 04 Juli 2010

31. CATATAN ATAS PENGEROYOKAN AKTIVIS PRODEMOKRASI: TINI & HAMID

BELAJAR DARI INSIDEN TELUK BETUNG

Willy H. Rawung
CAKRAWALA 1 September 1998

JAKARTA, 14 Februari 1972, dua puluh enam tahun silam. Hari menjelang malam. Sebuah mobil VW Kombi meninggalkan asrama putri di Jalan Menteng Raya 36. Beberapa anak muda duduk berdesakan di dalamnya. Pemilik mobil Josi Katoppo dibelakang setir, di sebelahnya duduk Jeane Mambu dan Yuyu Mandagie. Di dua bangku belakang duduk Theo L. Sambuaga, Willy H. Rawung, Max Wilar, Herman M.L. Mosal, George Warouw, Ferdinand Pandey dan Lexy Abuthan.

Selang limabelas menit mobil berhenti di depan sebuah rumah besar di Jalan Teluk Betung No. 7. Dari balik kaca mobil nampak pemilik rumah, Brigjen TNI Hein Victor Worang, Gubernur Sulawesi Utara, sedang berbincang dengan Laksamana Pertama John Lie (Jahja Daniel Dharma) di beranda depan.

“Ayo turun “ kata Max. Pelan-pelan kami semua turun. Theo dan Max berjalan di depan, lainnya mengikuti dari belakang. Theo lebih dulu berhadapan dengan tuan rumah, memberi salam dan menyatakan maksud kedatangan kami. Sebelum Theo menyelesaikan kalimatnya, Worang dengan garang langsung menghardik, “Ini rumah jenderal.
Kalu mo baku dapa nanti di kantor perwakilan. Ini kita pe rumah”.
Dan tiba-tiba, “Buk !”, “Adow !” Semua terkejut, termasuk John Lie, melihat Max melorot pelan-pelan sambil memegang kepala lalu terjerembab mencium tanah. Di belakang Max berdiri seorang ajudan Worang yang baru saja memukul kepalanya dengan gagang pistol. Belum cukup memangsa kepala Max, si beringas masih mengarah-arahkan laras senjata kepada kami.

Untung pukulan telak sang ajudan tak sampai mengirimnya ke akhirat. Maka tanpa meladeni lagi sumpah serapah yang masih bersemburan dari mulut sang gubernur, acungan pistol ajudan dan kata-kata menyabarkan dari John Lie, kami kembali ke mobil dan menuju “markas”: asrama Sekolah Tinggi Teologia di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi). Tempat pondokan Max dan Herman.

Tak lama berselang John Lie datang dengan
jeep Gaz buatan Rusia. Laksamana yang arif ini langsung membawa Max ke RSAL di Jalan Bendungan Hilir. Menurut dokter ia perlu diopname. Tetapi si penakut jarum suntik itu hanya dapat betah semalam bertahan. Esoknya ia kabur pulang ke asrama.

Yuyu dan Jeane pada malam kejadian itu langsung mendatangi Polsek Menteng mengadukan tindakan kriminal sang ajudan. Tapi polisi menolak dan menyarankan untuk melapor ke Skogar. Soalnya sang pelaku adalah oknum ABRI dan melibatkan seorang jenderal. “Percuma”, kata Yuyu.

Max Wilar memang sudah diincar ajudan-ajudan Worang. Sejak ia dan Herman Mosal menyebar pamflet di aula Paldam Kwitang, saat Worang berpidato di depan warga Sulut dalam rangka mengakhiri masa jabatan pertamanya sebagai gubernur. Isi pamflet-pamflet yang membuat beliau marah besar itulah yang menjadi pemicu pukulan gagang pistol.

Insiden ini adalah puncak dari perseberangan yang terus menerus terjadi antara IPMMD (Ikatan Pelajar Mahasiswa Minahasa di Djakarta) dengan gubernur Worang. IPMMD selalu mengeritik jenderal pertama Minahasa ini sebagai “gubernur jenderal abad XX”. Lantaran type kepemimpinannya yang nepotis, anarkis, anti demokrasi, arogan dan lebih suka disapa “siap jenderal” ketimbang “baik pak gubernur”.

Malam itu kesabaran kami sudah habis sampai harus mendatangi rumahnya. Sebab selain selalu ditolak bertemu, Worang sudah menyatakan dukungan finansial terhadap proyek TMII-Taman Mini Indonesia Indah-nya Ibu Tien Soeharto. Yang bagi kami terlalu elit dibanding kemiskinan rakyat Indonesia dan rakyat Sulut saat itu.
Dengan membangun paviliun yang belum pantas dari segi miskinnya rakyat Sulut, Worang sebenarnya sedang bersiasat mengincar masa jabatan keduanya sebagai gubernur.

Menanggapi insiden itu, 17 Februari 1972, harian KAMI dalam Pojok Demonstran menulis, “Max Wilar dipukul Adjudan Gubernur Hein Victor Worang dengan pistol, hingga terpaksa masuk Rumahsakit. Itu masih bagus njong. Kalau di Manado sana, ngana so mati djo, en tra ada jang ribut” (ejaan lama, Pen.). Dan dalam berita 24 Februari 1972, harian itu memberitakan lengkap peristiwa tersebut di bawah judul “Insiden Teluk Betung ”.

Berita ini tentu tidak bisa beredar di Sulut. Sebab sudah langsung di
breidel para birokrat di bandara Sam Ratulangie dengan cara dibeli borongan. “Breidel” dengan kekuatan money politics demikian biasa diberlakukan pada penerbitan manapun yang dianggap mendiskreditkan gubernur. Sementara pers daerah menyiarkan berita berat sebelah yang tentu mendiskreditkan kami. Sebab siapa berani menulis obyektif, bila terancam bogem mentahnya sang jenderal?

Dan sebagaimana terjadi dalam kasus Julius Undap versus gubernur CJ Rantung di tahun 1992 yang membuatnya harus berhadapan dengan KNPI yang pro Rantung, maka sesudah insiden itu, Worang pun merekayasa sejumlah pernyataan dukungan dari berbagai pihak di daerah dan di Jakarta. Sehingga IPPMD pun dipaksa memasuki atmosfir “perang saudara” dengan para pemuda pro Worang.

Akibatnya Jan F. Mailangkay dan Max Ekel misalnya, aktifis IPMMD yang mendapat tugas belajar dari pemerintah daerah, terpaksa memilih nonaktif dari organisasi dari pada ditarik pulang.

Syukur – di antara kami - perbedaan pendapat dan hak azasi pribadi sangat dijunjung tinggi. Keputusan rekan-rekan tersebut tidak menimbulkan masalah. Tidak melunturkan persahabatan, tidak ada saling caci maki, tidak ada saling menjelekkan, dan tidak ada tindakan anarki diberlakukan diantara sesama sahabat yang berbeda pendapat

Insiden Teluk Betung kemudian memutus sama sekali hubungan IPMMD dengan Worang. Sampai akhir hayatnya tak pernah lagi terbina komunikasi dengan beliau. Kami mengambil sikap menjauh, kurang peduli lagi terhadap perkembangan daerah, dan lebih memusatkan perhatian kepada Jakarta sebagai tempat menimba ilmu dan perjuangan.

Sebuah antiklimaks, memang. Namun hubungan batin dengan Minahasa tetap terpelihara melalui kegiatan-kegiatan sosial budaya yang kemudian lebih berkembang setelah dibentuknya KKK (Kerukunan Keluarga Kawanua). Baru setelah Willy Lasut menggantikan Worang, hubungan dengan pemerintah daerah pulih kembali.

Tiga tahun setelah Insiden Teluk Betung pecah Peristiwa Malari. Theo Sambuaga ditahan Kopkamtib. Selama lebih dari setahun ia “diistirahatkan” dalam rumah tahanan mahasiswa "Kampus Kuning". Di sana ia secara intensif belajar bahasa Inggris, yang kemudian amat bermanfaat ketika meneruskan kiprah politiknya.
Perjalanan nasib kemudian membawanya menjadi Kawanua pertama yang diangkat menjadi Menteri Kabinet selama 32 tahun Orde Baru dan Kawanua pertama yang diangkat dalam Kabinet Reformasi Pembangunan. Namun karena mungkin masih sedikit traumatis dengan ulah ajudan Worang, setelah menjadi petinggi negara pun ajudan yang dipilihnya teramat santun untuk ukuran yang lazim.

Herman Mosal menjadi Pendeta dan kini salah satu Ketua BP Sinode GMIM. Jan Mailangkay sekarang menjadi Pembantu Gubernur Wilayah. Josi Katoppo (wartawan Suara Pembaruan) dan Jeane menikah, sekian tahun menetap di Los Angeles dan sekarang sudah kembali lagi ke Jakarta. Yuyu Mandagi menikah dengan satrawan Asbari N. Krisna. Dan menjadi wanita pertama penerima penghargaan pers terkemuka – Piala Adinegoro – untuk rangkaian karya “Menelusuri Remang-Remang Jakarta”. Sekarang mereka menetap di Belanda dan bekerja di Radio Hilvresum.

Ketika jenderal tua itu menutup usia, untuk pertama kalinya kami semua berkumpul di rumahnya yang baru, Simprug, untuk menyampaikan penghormatan terakhir kepada jasad beliau. Mengapa tiada dendam? Sebab Worang bukan insan yang layak dibenci. Walau kami banyak mengeritik, ia tetap orang besar pada zamannya, sehingga tidaklah mengurangi sedikitpun hormat kami kepadanya. Bagaimanapun ia telah berbuat semampunya untuk membangun daerah. Ia memang keras, bahkan cenderung kejam, lantaran terbawa pengalamannya bertempur mempertahankan republik. Ia tak dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, lebih mahir bertutur Melayu Manado dan dialek Tounsea. Tetapi satu hal dibalik semua itu, ia adalah salah satu
waraney sejati yang pernah dimiliki Minahasa. Ia seorang tuama (lelaki pemberani), seorang ksatria yang jujur terhadap dirinya sendiri. Ia memang bukan seorang intelektual, tetapi ia selalu bersikap apa adanya, lurus, tidak terbiasa berpura-pura atau berusaha lembut. Sebab ia memang bukan jenis pemunafik yang lain di bibir lain di hati.

Ia membuat Max Wilar memar dipukul dengan gagang pistol dan segudang tindakan nonpopuler lainnya. Tetapi ia tidak cukup mempunyai keberanian untuk meleceh - apalagi mempermalukan - tatanan nilai moral dari tradisi budaya nenek moyangnya. Yakni setelah isterinya wafat, ia tidak berperilaku yang bukan-bukan sehingga digosipkan sebagai “play boy cap kampret”, misalnya. Sebaliknya, ia menggandeng calon istrinya yang masih belia ke altar suci, Gereja Tuhan untuk diberkati dalam nikah yang kudus.

Ia benar-benar telah memberi
patuusan (teladan) bagi kami. Dan satu hal lagi, jenderal tua yang terkenal kasar bertutur kata dan sering diragukan kekristenannya ini tidak pernah bersumpah serapah atau bercaci-maki saat ber-pidato dalam gereja. Atau mencampuri putusan-putusan internal dalam institusi gereja, apalagi meleceh pendeta dan pimpinan-pimpinan gereja di depan jemaat, dengan misalnya menyuruh mereka berdiri untuk mengucapkan kata “siap mati untuk Sulut”. Tidak, jenderal tua yang berangasan ini tidak punya keberanian sedikit pun untuk melakukan dosa-dosa seperti itu.

Insiden Teluk Betung tinggal kenangan. Masa-masa indah itu adalah
golden years (tahun-tahun emas) dalam masa muda kami. Tidak ada yang menyesal pernah mengalaminya. Karena insiden itu tidak menjadi penentu apakah kami emas, loyang atau besi tua. Sebaliknya sampai sekarang insiden itu masih menjadi perekat moral kejuangan dan persahabatan, di manapun, serta dalam situasi apapun kami berada.

***

Enam tahun lalu dalam artikel di
Manado Post 26 November 1992. saya pernah mengangkat Insiden Teluk Betung untuk menyemangati dan memberi dukungan moral kepada aksi-aksi unjuk rasa “Kelompok 10 pimpinan Julius Undap” yang berseberangan dengan gubernur C.J. Rantung dan KNPI Sulut. Adalah ironi, bahwa saat ini saya mesti kembali mengangkat artikel yang sama untuk mendukung dan menyemangati Bung Tino Kariso dan Bung Hamid Bula yang lantaran membela kepentingan nelayan pantai Manado dan petani cengkeh mesti dikeroyok kelompok anarki terorganisir.

Bagi saya, lebih baik mengungkap kembali nilai moral insiden ini dari pada menuliskan “kutukan” terhadap para pelaku subhuman yang telah – bahasa Orde Baru – “melibas” kedua anak muda itu di Gedung DPRD 13 Juli lalu itu. Walau kalau mau mengutuk pun sebenarnya boleh-boleh saja, sebagaimana dilakukan Presiden Habibie ketika mengutuk berbagai aksi kekerasan yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia.

Dibanding pukulan gagang pistol ajudan Worang, penderitaan fisik pemuda-pemuda proreformasi ini memang lebih berat. Tetapi dibanding Insiden Teluk Betung, kasus pengeroyokan ini lebih memungkinkan untuk dituntaskan secara hukum. Kita percaya dalam sidang-sidang pengadilan nanti, konspirasi (persekongkolan)
money politics (politik duit), power politics (politik kekuasaan), atau siapapun aktor intelektual di belakang penganiayaan itu pasti terkuak lebar. Sebab kelompok penganiaya itu pasti tidak kebal hukum, atau berkualitas lebih hebat dari tujuh anggota Kopassus (Komando Pasukan Khusus) TNI-AD yang dinyatakan tersangka dan ditahan dalam kasus penculikan sejumlah aktivis mahasiswa.

Kita mesti juga percaya bahwa reformasi internal yang begitu cepat, tulus dan terbuka dilakukan ABRI, telah mulai membuktikan tingkat konsolidasi dan kemampuan mereka melakukan koreksi secara kelembagaan. Sehingga akan sia-sialah segala rekayasa dan konspirasi untuk menutup-nutupi atau mementahkan tindak kriminal itu.

Dari pengalaman kasus penculikan aktivis mahasiswa, kasus penembakan mahasiswa Trisakti, kasus Udin, kasus Marsinah, kasus pembunuhan Dice, kasus Ria Irawan dan lain-lain, pihak Kepolisian, Kejaksaan atau Pengadilan tentu tidak akan gegabah dijadikan kambing hitam. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar