Minggu, 04 Juli 2010

30. KETUA DPD GOLKAR SULUT 1998 – 2003 POTENSIAL JADI GUBERNUR 2000 – 2005

Willy H. Rawung
MANADO POST 26 Agustus 1998

BERHENTINYA Presiden Suharto dan bergulirnya era reformasi telah membuat Golkar mengalami “new born” atau “lahir baru” yang substansinya sebagai berikut: Pertama, sesudah pensahan UU baru nanti, Golkar akan menjadi kontestan Pemilu Desember 1999 dengan nama Partai Golkar.

Kedua, dihapusnya institusi berkekuasaan besar dan sentralistik pada yang namanya Dewan Pembina (Ketua, Pak Harto), Dewan Penasihat (Ketuanya di Sulut, Gubernur Mangindaan) dan Dewan Pertimbangan (Ketuanya Bupati, walikota).

Ketiga,
floating mass (masa mengambang) tidak lagi diberlakukan dan struktur partai akan menjangkau sampai ke desa-desa.

Keempat, dilenyapkannya apa yang dikenal dengan jalur A(bri), B(irokrasi) dan G(olongan).
Tak ada lagi, misalnya, kejadian seperti KSAD (R. Hartono) dengan jaket kuning ikut berkampanye dalam Pemilu 1997. Atau “kuningisasi” model Gubernur Suwardi di Jawa Tengah. Sebab KORPRI (pegawai negeri) dilarang menjadi anggota – apalagi - pengurus Partai. Kecuali mereka bersedia “lengser” dari abdi negara. Dengan tidak lagi menjadi mesin politik ABRI, purnawirawan dan pegawai negeri serta pensiunan, hilang pula 30 juta suara otomatis dalam Pemilu, 6 juta dari birokrat dan keluarganya dan 700 ribu dari keluarga besar ABRI plus pegawai sipilnya.

Kelima, potensi menjadi
single majority pun pudar. Sebab dalam Pemilu 1999 nanti persaingan bebas akan terjadi dengan lebih dari 50 partai baru yang sudah terdaftar di Depdagri.
Menurut William Liddle dari Ohio State University, pesaing potensial akan datang dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dibentuk Nahdlatul Ulama (NU), PDI (Megawati) dan Partai Amanat Nasional (PAN) pimpinan Amien Rais. Lalu ada pula Partai Bulan Bintang (PBB) yang memiliki jaringan massa luas melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dalam persaingan nanti, Liddle mengansumsikan Partai Golkar akan kalah dan berada diurutan ketiga dalam perolehan suara, sesudah PKB dan PDI Megawati.

Keenam, sumber dana melimpah dari para konglomerat sulit diharapkan, apalagi dari kalangan Cina yang ketika menderita azab sengsara dalam kerusuhan 13-14 Mei lalu, dibiarkan oleh Golkar. Sementara aset Golkar sebesar Rp. 836 milyar yang masih dikuasai Yayasan Dakab pimpinan Pak Harto tak kunjung selesai.

Dengan kondisi “lahir baru” dapat dipahami jika sebelum Munaslub Golkar, Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung sudah menegaskan hal-hal yang akan menjadi perhatian. Yakni transparansi dalam fungsi politik, membuat Golkar menjadi wadah artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat, alat rekrutmen kader politik, serta sarana pendidikan politik dan aspirasi rakyat. Melakukan konsolidasi dengan tetap mempertahankan Golkar sebagai partai terbuka yang non-SARA, dimana pertimbangan dan aspirasi yang tumbuh dari bawah menghasilkan hubungan yang seimbang dan proporsional dengan pemerintah. Sehingga fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan sebagai wujud nyata proses demokratisasi akan berjalan.

Langkah-langkah itu sebenarnya hanya bermakna satu, yakni mempertahankan ek-sistensi ketika nasib semua partai, termasuk Partai Golkar berada sepenuhnya di tangan rakyat.

SKENARIO MUSDA

Bertolak dari reformasi yang akan menghasilkan Golkar “lahir baru” serta memperhatikan kondisi politik Sulut yang masih "mencintai" kultur politik Orde Baru, maka proses pemilihan ketua DPD 1998-2003 dalam Musda (Musyawarah Daerah) diperkirakan akan terjadi dalam tiga skenario.

Skenario pertama. Pemilihan sama sekali tidak dicampuri lagi oleh DPP, Gubernur, Bupati/Walikota dan pihak tentara. Tak ada lagi tentara atau purnawirawan yang dipilih menjadi ketua DPD sebab “diperintah atasan”. Sebab pemilihan akan berlangsung demokratis, independen, mandiri, melalui
voting (pemungutan suara). Ini yang ideal. Meski demikian dalam skenario ini tidak tertutup kemungkinan terjadi money politics (pembelian suara) atau power play (permainan kekuasaan). Bisa saja tradisi kekerasan dalam bentuk “ideologi kepalan dan urat leher” dan “dorang mo dola pa ngana” tetap diberlakukan. Kendati bila hal ini masih dilakukan akan banyak kader muda bersih KKN yang tumbuh dari bawah dan profesional akan kecewa dan frustasi lalu meninggalkan Golkar. Dan mungkin saja mereka menjadi golput, “babuang” ke PDI Megawati. Atau menjadi aktifis partai-partai baru yang didirikan para mantan aktifis Golkar, purnawirawan ABRI, pensiunan pegawai negeri yang akan segera membuka cabang di Sulut.

Skenario kedua. Karena sudah terbiasa secara efektif memanfaatkan Golkar sebagai mesin politik untuk menduduki sentra-sentra kekuasaan yang begelimang kenikmatan
(enjoy) dalam ber-KKN, diperkirakan para purnawirawan, pensiunan birokrat, elit pimpinan daerah akan berusaha memperta-hankan status quo KKN dengan merekayasa skenario pertama tidak lebih dari prosedur formal atau etalase demokratisasi. Sementara substansinya tetap tipikal Orde Baru: anarki, kekerasan, pemaksaan! Dan mengamati tindak kekerasan yang dialami gerakan proreformasi di Sulut, jumlah generasi muda bersih KKN dalam skenario pertama amat kecil dan tak akan mampu menandingi kekuatan pendukung status quo KKN dalam skenario kedua.

Skenario ketiga, terjadi konsiliasi antara pendukung kedua skenario. Nampaknya inilah yang akan terjadi. Namun intergrasi ini pun tetap potensial menimbulkan kekecewaan, frustasi (barisan sakit hati) yang akan mengakibatkan
exodus besar-besaran dari kader-kader bersih KKN ke partai-partai lain.

GUBERNUR TAHUN 2000-2005

Kendati Golkar akan kian terpuruk dan akan mengalami gelombang pembelotan dari para kader-kadernya, namun pertarungan merebut jabatan ketua DPD tetap berdaya tarik tersendiri. Sebab dalam pemilu yang kelak berkombinasi sistem distrik dan proporsional, bila sukses memenangkan 40 % kursi DPRD saja, Golkar dapat menjalin koalisi dengan – misalnya – PDI Megawati dan PKB untuk mendudukkan ketua DPD menjadi gubernur.

Hal ini amat berkemungkinan, mengingat makin kuatnya tuntutan otonomi yang seluas-luasnya bagi provinsi dan kabupaten. Dalam tuntutan yang kian meluas ini misalnya, figur gubernur dan bupati tidak lagi diputuskan oleh Jakarta. Siapa yang menjadi bupati/walikota di Sulut pun tidak lagi diputuskan oleh gubernur dan Mendagri. DPRD akan benar-benar berkuasa menetapkan gubernur dan bupati dalam arti sesungguhnya.

Akibatnya, tidak akan ada lagi gubernur/bupati “kagetan” atau “lompat pagar” yang dikirimkan jauh-jauh dari luar Sulut. Tak ada lagi tentara yang “terpaksa” menjadi kepala daerah sebab “diperintah atasan”. Tak ada lagi gubernur yang mesti belajar mengenal-ngenalkan atau mengakrab-akrabkan diri dengan rakyat, lantaran ia memang “orang asing” yang buta alfabetnya Sulut, atau secara kultural, memang “jauh” dari mata dan hati rakyat. Dengan otonomi, figur gubernur/bupati adalah benar-benar tokoh yang sudah dikenal sebelumnya - luar dalam – oleh masyarakat.

Pada kondisi saat ini, gelombang tuntutan otonomi daerah telah menjadi sesuatu yang sulit ditolak oleh pemerintah pusat. Apalagi dengan akan berubahnya fungsi sosial politik ABRI yang oleh Menhankam/Pangab Wiranto disebut sebagai “redefinisi dan reaktualisasi peran sospol ABRI”. Membuat pemberian otonomi yang seluas-luasnya tinggal soal waktu saja.

Dengan demikian memilih figur ketua DPD Golkar atau ketua DPD partai mana pun sebenarnya relevan dengan memilih figur yang potensial akan menjadi gubernur periode mendatang. Sama dengan setiap ketua umum partai di Jakarta berpotensi menjadi presiden R.I. jika mampu memenangkan pemilu. Hal yang dikuatirkan banyak pihak bila Megawati berhasil menyatukan dan me-mimpin PDI.

Dari segi dekat dengan mata dan hati rakyat, memilih ketua DPD menjadi sama dengan memilih figur kharismatik, sebagai salah satu prasyarat memenangkan pemilu dalam masyarakat yang sudah kadung feodalistik,
patron client. Menurut Liddle, di Amerika ada istilah name recognition. Amien Rais dikenal rakyat setelah Megawati. Jadi tidak aneh kalau sopir taksi mengatakan, kalau tidak Mega, ya Amien, kata Liddle (Kompas19/8/1998).

Nah, barangkali disinilah soalnya. Ketika Golkar dilarang oleh Undang-Undang untuk memobilisasi apa yang dulu disebut jalur A(bri) dan jalur B(irokrasi) serta diper-lakukan sama dengan parta-partai lain, apakah Golkar Sulut memiliki insan kharismatik kelas lokal seperti Megawati, Amien Rais dan Gus Dur di kelas nasional? Apakah ketua DPD yang akan dipilih memiliki
name recognition kelas lokal sehingga ia dapat ikut menarik kepercayaan rakyat untuk memenangkan Golkar dalam pemilu? Dan apakah sang ketua yang baru itu memiliki name recognition pula untuk menduduki jabatan gubernur Sulut untuk periode tahun 2000-2005?
Sayangnya dalam pengamatan saya, per-tarungan untuk menentukan figur ketua DPD

Golkar Sulut tidak terbias dengan substansi-substansi Golkar “lahir baru” atau mengacu pada langkah-langkah Akbar Tanjung. Musda ini justru hanya akan lebih mengokohkan
status quo KKN (korupsi-kolusi-nepotis) ketimbang mengantisipasi “kelahiran baru” itu.

Dapat dipastikan dengan kian kokohnya
status quo KKN, Partai Golkar di Sulut akan terpuruk. Ia akan ditinggalkan petani-petani cengkeh yang “dimiskinkan” oleh KUD-KUD yang dilindungi birokrat, misalnya. Dan segala kelemahan-kelemahan akibat KKN itu akan menjadi kekuatan bagi PDI Megawati, PPP, dan partai-partai baru lain semisal PKB, PAN, PBB, Partai Kebangsaan Merdeka (dimotori HN Ventje Sumual, Letjen.TNI(Purn) HBL Mantiri, Laksamana TNI (Purn) Rudolf Kasenda, Frans Seda, Barnabas Suebu), Partai Katolik Demokratik, Partai Perempuan, Partai Tionghoa Indonesia, serta puluhan partai lainnya yang meski mulai dari nol, relatif lebih bersih dari praktek-raktek KKN.

Status quo KKN yang akan lebih diperkokoh dalam Musda juga akan menjadi kekuatan blessing in disguise bagi gerakan-gerakan masyarakat seperti LSM-LSM, Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa (dimotori Sarwono Kusumaatmadja dan Siswono Yudohusodo), Barisan Nasional dan Barisan Kebangsaan (dipenuhi purnawirawan jenderal), serta ratusan gerakan-gerakan sejenis yang jelas-jelas menyatakan diri sebagai “penyeimbang” atau oposan dan telah memiliki jaringannya di Sulut.

Gerakan massal itu mustahil dapat dibendung oleh Golkar Sulut yang masih memelihara tradisi “ideologi kepalan dan urat leher” atau suka menggertak dengan kata-kata
“dorang mo dola pa ngana”, atau masih suka memukul/mengeroyok seperti dilakukan terhadap aktivis proreformasi Sulut: Tino Kariso dan Hamid Bula.

Maka kata akhir ialah, apakah Golkar Sulut akan menang atau kalah dalam pemilu mendatang? Dan apakah figur ketua DPD yang akan dipilih cukup kredibel menjadi gubernur Sulut pada periode mendatang? Sudah terjawab pada siapa figur ketua DPD yang dipilih Musda 24-25 Agustus 1998 yang lalu.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar