Minggu, 04 Juli 2010

29. MASIH UNTUK KATAMSI GINANO

“DORANG MO DOLA PA NGANA!”

Willy H. Rawung
MANADO POST 14 Juli 1998

CATATAN Bung Katamsi Ginano di harian ini, Ideologi Kepalan dan Urat Leher saya baca setelah menjejakkan kaki di bandara Sam Ratulangie, siang, 3 Juni 1998.

Tadinya saya berpikir itulah bagian penutup dari catatan-catatan tentang “Peristiwa 12 Juni 1998” (pendudukan
Manado Post dan 45 menit penyiaran paksa Radio Smart FM).
Namun pengalaman yang menimpa saya malam itu juga di tenda makan Jambore Remaja GPI-GMIM, Langowan, membuat saya perlu melanjutkan sedikit catatan-catatan kita.

Kisahnya, usai bubaran ceramah Menteri Theo L. Sambuaga saya menyapa Gubernur Mangindaan. Sambil menyambut hangat sapaan saya, beliau secara bergurau mulai mengomentari istilah “kakicis” dalam artikel-artikel saya di Manado Post. Namun tiba-tiba dari belakang seseorang meremas lengan kanan saya dan berbisik, “Bapak lagi makan, jangan diganggu.” Sudah tentu interupsi itu tak saya acuhkan, sebab tak baik mengabaikan pak Gubernur yang masih berbicara kepada saya. Tapi bisikan datang lagi, kali ini lebih keras, “Bapak lagi makan, jangan diganggu !” Saya pun menghentikan diskusi dan berpaling ke belakang. Ternyata sang pembisik adalah seorang berseragam safari, berbadan tegap, tinggi, hitam, angker dan berkumis, yang lalu berkata kepada saya,
“Saudara kan Willy Rawung !”
“Ya betul, saya Willy Rawung, ada apa ?”
“Tidak saya hanya ingin mengatakan saya tahu saudara, saudara kan Willy Rawung !” sergahnya lagi.
“Iya” ! Saya Willy Rawung, lalu ada apa ?” jawab saya, tegas.
Dialog terhenti, sang bersafari bergeser menghindar. Dalam benak saya, siapakah gerangan interuptor itu, kok berani-beraninya menginterupsi percakapan saya dengan Pak Gubernur.

Zacharias Maksud, teman saya, datang mendekat. Saya tanyakan kepadanya, “Ada apa ini?” Jawabnya dengan mimik serius,
“Oh iyo, dorang mo dola pa ngana” (mereka akan menghadang Anda). “Dimana?” tanya saya. “Di bawah sana!” Ia lalu menceritakan bahwa sejak turun di bandara, sekelompok orang yang tidak menyukai artikel-artikel saya sedang mengincar saya secara fisik.

Untuk mencegah insiden, saya lalu berpamitan dengan Pak Menteri dan permisi memisahkan diri dari rombongan beliau. Ketika menuju parkiran mobil, saya bertemu sekelompok wartawan. Salah seorang memperingatkan, “Jangan jalan sendirian Pak Willy !” Waduh, pikir saya, provokasi ini pasti serius. Agaknya persekongkolan kelompok pencinta kekerasan untuk mencelakakan saya, sudah dimaklumi banyak pihak.

Tiba-tiba saya Bung Katamsi, naluri saya memutuskan untuk menjadi kelinci percobaan atas “tesis” saya dalam
Jangan Khawatirkan Siapa Kita (MP 24/6 ) dan “tesis” Anda, Ideologi Kepalan dan Urat Leher. Saya menunda kepulangan, lalu berjalan mondar-mandir di jalan yang ditunjuk sebagai tempat dorang mo dola pa ngana itu. Dan saya menunggu duasetengah jam di lokasi itu untuk menikmati bagaimana rasanya dorang mo dola pa kita. Membuat sopir saya kebingungan, sebab tak maklum apa yang sedang saya tunggu demikian lama.

Dalam kegelapan dan dinginnya malam, memandangi keriangan remaja-remaja peserta jambore yang berjalan sambil bernyanyi menuju tempat mengambil air, sekonyong-konyong provokasi kekerasan yang pernah saya alami 32 tahun kembali membayang. Ada dimanakah kiranya oknum-oknum elit dan pembina politik Sulut yang sekarang berkuasa, ketika saya bersama rekan-rekan DPP-KAPPI diserang segerombolan kader PKI kalap di kediaman Bupati H. Sutoyo di Tahuna pada tahun 1966 sehingga kami terpaksa dievakuasi kapal ALRI ke Bitung ?

Ada dimana gerangan si berbadan tegap yang menyelak pembicaraan saya dengan Pak Gubernur, serta ada dimanakah otak dari kelompok yang
mo dola pa kita berada, ketika bus kami hampir dilumatkan massa Soekarnois di desa Tompaso tahun 1966 dulu? Yah, ada dimanakah elit dan pembina politik Sulut yang sekarang menjadi penikmat-penikmat utama hasil pembangunan lantaran menumbuhkan kekerabatan KKN, ketika pemuda-pelajar-mahasiswa sedang menghadapi provokasi kaum komunis di tahun 1966?

Demikianlah Bung, setelah menunggu, merenung dan menunggu, jalanan pun mulai sepi. Ternyata - untuk sementara – tidak terjadi apa-apa. “Tesis” saya ada benarnya. Tidak seorang pun dari barisan yang
“Dorang mo dola pa ngana”, termasuk sang pembisik yang mengganggu pembicaraan saya dengan Pak Gubernur, kelihatan batang hidungnya.

Seperti analisis saya, mereka memang bukan tipe kelompok ideolog atau dogmatis, seperti yang hampir melumatkan kami di Tahuna dan Tompaso 32 tahun lalu. Mereka hanya pencinta-pencinta berat dari status, jabatan dan kekuasaan. Atau, seperti pendapat Anda, “orang yang lebih pantas dikasihani daripada dimurkai. Gerombolan manusia dengan pengetahuan sebesar kacang polong dan urat-urat terentang yang siap mempertahankan keyakinan salah sekalipun. Orang-orang yang tak menyisakan tanda-tanda manusia bersekolah”.

Maka dengan pengalaman ini Bung Katamsi, masih bolehkah saya menyarankan Anda untuk tidak perlu mengkhawatirkan siapa kita?
Sapa kua torang so? Seperti komentar saya kepada adik-adik mahasiswa di Dewan Reformasi Sulut yang mendesak saya menceritakan provokasi itu, “biarlah Tuhan mengampuni, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan” kata saya. Kendati isteri saya di Sawangan, Bogor, mesti ikut menderita berulangkali ditelpon dengan kata-kata ancaman.

***

Bung Katamsi, penolakan kita atas tradisi menyelesaikan soal dengan pendekatan keamanan
(security approach), atau kekerasan, ternyata bukan hanya sikap kita, tetapi juga sikap Presiden B.J. Habibie dan Kabinet Re-formasi Pembangunan. Yang saya dengar langsung dari beliau ketika bersama rekan-rekan DPP-APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menemuinya di Bina Graha 7 Juli lalu. “Kita adalah negara modern. Semua masalah harus diselesaikan secara demokratis. Tidak perlu lagi melakukan pendekatan keamanan seperti waktu-waktu yang lalu, sebab perbedaan pendapat adalah manusiawi”, kata beliau.

Dari pernyataan Presiden saya bisa memahami, mengapa realitas kekuasaan sentralistik yang didasarkan pada pendekatan keamanan mulai dibersihkan dalam Golkar. Dalam Munaslub nanti, Golkar akan menjadi partai yang tidak lagi menjadi mesin politik ABRI. Dewan Pembina (Pak Harto), menyusul Dewan Penasihat (Gubernur) dan Dewan Pertimbangan (Bupati), Korpri dan jalur “ABG” akan dikeluarkan dari keluarga besar Golkar.

Kita juga bisa memahami mengapa DPA meminta Presiden membentuk Komisi Independen untuk menuntaskan kasus penculikan aktivis mahasiswa, kasus penembakan mahasiswa Trisaksi dan kasus kerusuhan 13-14 Mei 1998, yakni kasus-kasus yang sarat dengan letusan senjata. Supaya budaya “remas lengan” atau “ramas leher” yang amat memalukan bangsa kita di forum-forum internasional tidak berulangkali terjadi.

Dengan pendekatan demokratis, Bung Katamsi, pada saatnya nanti Kepala Daerah kita adalah orang yang sebelumnya sudah dikenal pribadi dan keluarganya, telah dikenal pengabdian dan kredibilitasnya, serta sudah jelas profesionalitas dan jumlah harta kekayaannya. Tak akan ada lagi tokoh “asing” yang didrop dari Jakarta. Sehingga tak ada lagi yang merasa “terpaksa” atau “diperintah” jadi Kepala Daerah.

Dengan demikian Kepala Daerah akan menjadi jabatan yang benar-benar ditentukan secara demokratis oleh rakyat. Bukan lagi sejenis jabatan hadiah atau tempat menampung calon pensiunan dari kalangan birokrasi atau ABRI.

Namun meski Presiden dan Kabinet menolak pendekatan keamanan sebagai solusi. Serta begitu yakinnya beliau-beliau terhadap pendekatan demokratis dalam penyelenggaraan negara. Tidaklah mudah menghapus pendekatan
“Dorang mo dola pa ngana” itu, yang telah berurat, berakar dan menjadi justifikasi rutin bagi “soeharto-soeharto kecil” di daerah-daerah.

Sebab mereka telah terlalu lama menjadi bagian dari sistem yang - mengutip Jakob Sumardjo – “putih di luar, kuning di dalam. Bersih di luar, kotor di dalam. Sukses di luar, gagal di dalam. Halus di luar, brutal di dalam. Mengungkap kebohongan lewat “kebenaran”. Keras kepala dengan kepura-puraan. Pemuja bentuk tanpa isi. Pemuja penampilan tanpa hakikat. Rumah karton yang tampak megah dan kukuh dari mata umum, tetapi roboh begitu kesenggol kebenaran. Seolah-olah baik untuk sesuatu yang jahat. Seolah-olah benar untuk sesuatu yang salah.”

Maka apa boleh buat, akibat 32 tahun dalam pelukan rezim lama yang feodalistik, sentralistik dan mendewakan pendekatan keamanan itu, telah tercipta generasi yang selalu ingin cepat-cepat menyelesaikan perbedaan pendapat atau memberangus kritik dengan cara-cara
“Dorang mo dola pa ngana.”

Generasi “cepat enak’ yang lebih suka mencerna retorika
Enjoy ! Yes !, ketimbang susah-susah memahami moral perjuangan Soe Hok-gie, the angry young man yang back to campus untuk tetap berkiprah sebagai moral force pada zamannya. Generasi yang akan menuding Hok-gie sebagai bogo-bogo (tolol), sebab lebih memilih mendaki gunung-gunung lalu wafat terhirup gas racun di puncaknya, ketimbang mengikuti rekan-rekan aktivis lain menjadi “pelacur politik”.

Bagi generasi pragmatis yang menomorsatukan status-jabatan-kekuasaan ini, Sam Ratulangie tidak akan lebih dari nama bandara, dan Syahrir adalah sosok yang asing sama sekali. Mereka pasti sulit mengerti moral perjuangan para pendiri Republik, seperti dilukiskan Taufik Ismail dalam Aku Rindu pada Zaman Yang Ikhlas dan Bersahaja : “… mereka yang mendirikan negeriku ini … dahulu cendekia-cendekia yang sangat belia / pemuda-pemuda yang memahat sebuah negara / remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata / operator radio dalam rimba raya / diplomat-diplomat tanpa sertifikat / pelaut tanpa armada / penerbang yang merindukan sayap-sayap / para pemberani yang tabah menghadapi segala kemuskilan dalam beribu format / Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus / sudut tulang rahang jelas kelihatan/ berambut hitam lebat / memakai pomade yang lengket dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan ….. “.

Mereka pun pasti tak sadar, bahwa tanpa moral seperti yang dipancarkan Sam Ra-tulangie, Wolter Monginsidi, Daan Mogot, Santiago, Nani Wartabone, Syahrir, mustahil Republik ini dapat berdiri dan mustahil mereka dapat menikmati hasil pembangunan: berpakaian safari, menjadi Bupati, Camat, Gubernur, anggota DPRD, pengusaha atau Rektor yang menaiki mobil-mobil mewah.

Lepas dari semuanya Bung Katamsi, hal yang paling mendukakan hati bukanlah peristiwa
“Dorang mo dola pa ngana” itu. Tetapi betapa ketakutan kaum KKN (koruptor-kolusitor-nepotis) akan hilangnya status quo telah membuat mereka membuang akal sehat, kalap, sehingga mengkondisikan sentimen SARA (suku-agama-ras-antargolongan) sebagai senjata untuk melawan unjuk rasa para mahasiswa reformis.

Sungguh ngeri membayangkan betapa entengnya mereka melawan kritik-kritik kaum reformis dengan isu-isu SARA, isu federalisme, isu “orang luar Sulut”, dan isu-isu sejenis yang bertendensi desintegratif, memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa.

Meski begitu kotornya gerakan kaum KKN di Sulut, kita tentu tidak berhenti memperjuangkan pendekatan demokratis sebagai tradisi baru pengganti pendekatan keamanan gaya rezim lama.

Walau dengan resiko remasan lengan atau – mungkin - remasan leher serta ancaman
“Dorang mo dola pa ngana”, saya mengajak kita tetap berjalan terus. Percayalah, gerakan reformasi pasti berhasil.

Akan tetapi pada waktu keberhasilannya nanti, Anda akan takjub menyaksikan keanehan sejarah. Saat mendapati betapa kaum KKN yang menjadi sasaran reformasi sekarang akan amat cepat “bermetamosfora” (berubah kulit) menjadi “tokoh-tokoh reformasi”. Sama dengan mereka yang dulu antipati dan berseberangan dengan Orde Baru, justru menjadi tokoh-tokoh terdekat dengan Pak Harto. Tak beda dengan mereka yang dulu amat sangat dikenal sebagai orang-orang terdekat beliau, tiba-tiba menjadi penghujat-penghujat utama.

Pada saatnya nanti, ketika gerakan reformasi telah membasmi tuntas kaum KKN, serta tatanan nilai demokrasi telah menjadi naluri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita akan sama-sama mencari, ada dimanakah kelompok
“Dorang mo dola pa ngana” itu ? Ada dimanakah para penghayat “Ideologi Kepalan dan Urat Leher?” Janganlah terkejut Bung Katamsi, bila kelak Anda menjumpai para penghayat status-jabatan-kekuasaan ini sudah lebih dulu berjejer di jajaran terdepan barisan reformasi! Dan ketika menyaksikan keanehan sejarah itu – barangkali - pertanyaan tentang Siapa Kita ? Sapa Kua Torang So ? menjadi lebih menarik untuk dicari jawabnya. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar