Minggu, 04 Juli 2010

28. PROPOSAL REFORMASI KNPI

Willy H. Rawung
MANADO POST 7 Juli 1998

SESUDAH artikel KNPI Sulut, Memori Tutup Tahun dimuat Manado Post hampir enam tahun lalu (21/12/1992), saya enggan menulis lagi ikhwal organisasi pemuda yang didirikan (1973) di Pandaan Jawa Timur ini. Lantaran so pastiu (bosan) mengamati betapa dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun, aktualisasi “wahana pengembangan wawasan pemuda demi kesinambungan Orde Baru” itu tidak lebih dari ‘paspor’ bagi segelintir fungsionaris produk nepotisme untuk menjadi anggota DPR/DPRD, kontraktor, pengusaha dadakan, birokrat dan Pengurus Golkar.

Sebagai ‘paspor’, KNPI memang ideal. Sebab ia menyandang status ‘satu-satunya wadah komunikasi dan kaderisasi pemuda Indonesia’ atau ‘Parlemen Pemuda’ (istilah Dr. Midian Sirait, salah seorang pendiri). Ia juga ‘konstitusional’ terlegitimasi dalam sistem. Selain tercantum dalam GBHN, ia masih ‘dilapis’ dengan UU No. 8/1985 dan Permendagri No. 5/1986. Kongresnya pun distatuskan sama dengan Kongres Pemuda Indonesia, serta – tak kalah penting – ikut mendapat kucuran biaya operasional dari APBN/ APBD, fasilitas kantor sekretariat / perlengkapan gratis, plus donasi finansial dari instansi-instansi pemerintah, pengusaha dan sebagainya.

Namun kendati telah tersistem, terlegitimasi, KNPI amat sering menghadapi tuntutan untuk dibubarkan, seperti dituntut OKP-OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) Yogya hampir enam tahun lalu. Kongres HMI – lebih lunak – hanya mendesaknya untuk kembali kepada ‘khittah’ (ide dasar) : Deklarasi Pemuda 23 Juli 1973!.

Gelombang protes yang hakikatnya lebih berpangkal pada hilangnya kesabaran dan kepercayaan akibat KNPI telah menjadi sarang nepotisme, tempat berkumpul fungsionaris yang ‘lupa kacang akan kulitnya’. Yang kokoh dilindungi oleh pembina dan elit politik, sebab selain menjadi “tempat titipan anak-sanak saudara-kemenakan”, dapat seenaknya ‘ditunggangi’ atau ‘diperalat’ sebagai perangkat politik praktis bagi kepentingan sesaat pembina dan elit politik yang sudah tentu jauh dari kepentingan – apalagi kemajuan – pemuda Indonesia.

Selain begitu hebatnya nepotisme di sana, para pemuda pun kian sukar membedakan mana kiprah KNPI serta mana kiprah AMPI atau OKP-OKP lain yang ‘berinduk’ pada organisasi politik peserta Pemilu, lantaran program-program satu dengan lainnya saling tumpang tindih, inefisien.

Dan yang membuat OKP-OKP berang, KNPI lebih suka membangun akses dengan pembina dan elit politik. Melapor dulu, minta petunjuk, restu atau pujian, sebelum melaksanakan program. Serba takut: takut salah, takut ditegur, takut dicap ‘pembangkang’, takut tidak duduk di DPRD dan jenis “takut-takut lain”. Sejenis akumulasi rasa takut yang di zaman perjuangan Wolter Monginsidi di Sulawesi Selatan lebih pas dijadikan koki atau pengasuh anak ketimbang dijadikan anggota pasukan.

Aktualisasi program pun meniru sang “bos”, yakni suka hal-hal bersifat seremonial (upacara). Seperti sambil senyum-senyum senda gurau berseragam kaos atau jaket berfoto bersama – atau diliput media TV – tampil dalam seremoni-seremoni pencanangan, semisal pencanangan penghijauan, lingkungan hidup, dan lain-lain.
Atau
‘batempel’ dalam seremoni rancangan birokrasi untuk menyambut kedatangan Menteri anu atau Menteri itu.

Lalu usai seremoni, selesailah sudah. Stop, berhenti disini. Jangan harap seremoni-seremoni itu lalu menjadi bagian naluri kepemudaan yang secara sadar dan bertanggungjawab meneruskan pembersihkan pantai Manado dari kotoran sampah, pasir dan – mungkin – beton, misalnya. Lantaran, seremoni yang kurang lebih sama sudah menunggu.

Rutinitas program jenis itu saya sebut ‘gincu’ bukan ‘isi’, ‘aksi’ bukan ‘nasi’. Yang cukup dilaksanakan kader-kader berkualitas ‘ingin cepat enak’, kader hedonis alias menomorsatukan kenikmatan, kader lemah etos kerja, kader miskin nilai, kader – istilah Dr. Daniel Masengi – “penjilat” penguasa.

Tidak mengherankan bila dibanding gerakan moral tokoh-tokoh reformasi yang dilakonkan para mahasiswa dan LSM-LSM di kampus-kampus dan jalan-jalan di ibukota, KNPI dan OKP-OKP pendukungnya tidak lebih dari
peanuts (kacang-kacang).

Contoh paling aktual dari sikap mental seremonial adalah lakon Pokja Pasiar Jakarta pimpinan Ketua KNPI Sulut Jeffry Rawis. Si Tukang Pos (ia menamakann dirinya demikian) dan kawan-kawannya ini terlambat menyadari betapa formalisme KNPI dalam sistem tidak menjadi jaminan selama tidak menyatu dengan hakikat moral kepemudaan itu sendiri. Kalau menyatu, niscaya Si Tukang Pos cukup berdaya mengabaikan “pesanan” pembina dan elit politik yang - justru - menjadi sasaran reformasi. Ia akan “turun ke bawah” bergabung dengan moral dan hati nurani para mahasiswa dan pemuda, sehingga tidak terperangkap menjadi - sekarang lazim disebut - “badot-badot politik”.

Terlepas dari kelemahan-kelemahan manusiawi tokoh-tokohnya, serta bebas dari perilaku pembina dan elit politik terhadap KNPI, saya masih tetap termasuk pihak yang berpendapat wahana itu memiliki arti strategis dalam memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Apalagi dalam menghadapi kaum anti reformasi yang berlindung dibalik isu-isu desintegratif : SARA Suku Agama Ras Antargolongan.

Dalam pikiran ‘konservatif’ (sebagaimana artikel saya hampir enam tahun lalu), makna strategis itu ialah sebagaimana substansi Renungan Indonesia yang ditulis pemuda Sutan Syahrir semasa pembuangan di Bandaneira. Disebut oleh Mudji Sutrisno – kembali meminjam Habermans – “memijarkan kecerdasan emansipatorik. Titik terang cahaya humanisme baru, mengental dan mengungkap bersama olahan-olahan renungan generasi pendiri Republik Indonesia lain : Bung Karno, Hatta, Agus Salim”.

Yang dalam konteks KNPI Sulut, dapat diaktualisasikan sebagai menciptakan Sam Ratulangi, Maramis, Nani Wartabone, Santiago baru, yang teguh membawa panji-panji penolakan atas sederet nafsu jahat yang mau menguntungi kelompoknya sendiri, kepentingan sendiri, ego sendiri. Dan tetap tulus dan jujur mencintai sesama, lepas dari apakah dia ini Kristen, Islam, Minahasa, Gorontalo, Bolaang Mongondow, Sangihe Talaud. Dengan tetap meletakannya dalam ruang segar nan damai, penghargaan atas harkat dan martabat sesama, yaitu “Torang bangsa Indonesia”.

Dengan program-program substansial yang menghasilkan kader-kader berkecerdasan emansipatorik, niscaya KNPI akan tetap menempati posisi strategisnya. Tidak menjadi sekedar Si Tukang Pos, menjadi andalan pemuda, dambaan masyarakat, bangsa dan negara. Serta menjadi salah satu wahana pemuda Indonesia dalam perwujudan kemanusiaan dan keindonesiaan.

Kalau sudah begitu, jika pun para kader bercita-cita menjadi anggota legislatif, pejabat pemerintah, pengusaha, teknokrat, budayawan, rohaniwan, alim ulama atau apa saja, sepanjang insan-insan kader KNPI memancarkan kecerdasan emansipatorik, tiada seorang pun yang berkeberatan. Tiada OKP yang akan menggugat. Dan legitimasinya dalam sistem, GBHN, tetap dapat dipertanggungjawabkan.

Maka jika pun KNPI akan direformasi dengan apa pun namanya, atau manakala pemuda-pemuda Indonesia berniat mendirikan beberapa organisasi semacam KNPI (dalam rangka kebebasan berserikat), pemuda Sulut tidak perlu mencari identitas dan hakikat kader dari yang jauh-jauh. Berpalinglah kepada sejarah. Di sana ada Sam Ratulangie, Maramis, Nani Wartabone, Santiago, dan lain-lain.

Tidak perlu merasa malu atau merasa ketinggalan zaman berdialog dengan masa lampau. Jepang, adalah contoh soal. Dengan tetap mempertahankan semangat
bushido, “roh” manusia Jepang kuno, bangsa ini berhasil mencapai tingkat kemajuan luar biasa dan nomor dua terkuat ekonominya di dunia sesudah Amerika Serikat. Seandainya Jepang meminjam “roh” asing dari Belanda atau membeli “roh sepak bola“ dari Brasil, belum tentu mereka mencapai tingkat kemajuan ekonomi seperti sekarang.

Dalam pemahaman kultural saya, tanpa menemukan kembali jatidiri pemuda Indonesia dalam “roh” para pendiri Republik, KNPI atau “jenis KNPI lain” selamanya hanya akan memancarkan kecerdasan instrumental alias tetap ‘jalan-jalan di tempat’. Kalau sudah begitu, jangan salahkan sistem, jangan salahkan pembina dan elit politik. Salahkan saja diri sendiri, bila Sulut kelak hanya menghasilkan pemuda dan mahasiswa sebatas kualitas Si Tukang Pos. #



















SESUDAH artikel KNPI Sulut, Memori Tutup Tahun dimuat Manado Post hampir enam tahun lalu (21/12/1992), saya enggan menulis lagi ikhwal organisasi pemuda yang didirikan (1973) di Pandaan Jawa Timur ini. Lantaran so pastiu (bosan) mengamati betapa dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun, aktualisasi “wahana pengembangan wawasan pe-muda demi kesinambungan Orde Baru” itu tidak lebih dari ‘paspor’ bagi segelintir fungsiona-ris produk nepotisme untuk menjadi anggota DPR/DPRD, kontraktor, pengusaha da-dakan, birokrat dan Pengurus Golkar.
Sebagai ‘paspor’, KNPI memang ideal. Sebab ia menyandang status ‘satu-satunya wa-dah komunikasi dan kaderisasi pemuda Indonesia’ atau ‘Parlemen Pemuda’ (istilah Dr. Midian Sirait, salah seorang pendiri). Ia juga ‘konsti-tusional’ terlegitimasi dalam sistem. Selain tercantum dalam GBHN, ia masih ‘dilapis’ dengan UU No. 8/1985 dan Permendagri No. 5/1986. Kongresnya pun distatuskan sama dengan Kongres Pemuda Indonesia, serta – tak kalah penting – ikut mendapat kucuran biaya operasional dari APBN/ APBD, fasilitas kantor secretariat / per-lengkapan gratis, plus donasi finansial dari instansi-instansi pemerintah, pengusaha dan sebagainya.
Namun kendati telah tersistem, terlegi-timasi, KNPI amat sering menghadapi tun-tutan untuk dibubarkan, seperti dituntut OKP-OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) Yogya hampir enam tahun lalu. Kongres HMI – lebih lunak – hanya men-desaknya untuk kembali kepada ‘khittah’ (ide dasar) : Deklarasi Pemuda 23 Juli 1973!. Gelombang protes yang hakikatnya lebih berpangkal pada hilangnya kesabaran dan kepercayaan akibat KNPI telah menjadi sa-rang nepotisme, tempat berkumpul fung-sionaris yang ‘lupa kacang akan kulitnya’. Yang kokoh dilindungi oleh pembina dan elit politik, sebab selain menjadi “tempat ti-tipan anak-sanak saudara-kemenakan”, dapat seenaknya ‘ditunggangi’ atau ‘dipera-lat’ sebagai perangkat politik praktis bagi ke-pentingan sesaat pembina dan elit politik yang sudah tentu jauh dari kepentingan – apalagi kemajuan – pemuda Indonesia.
Selain begitu hebatnya nepotisme di sana, para pemuda pun kian sukar membe-dakan mana kiprah KNPI serta mana kiprah AMPI atau OKP-OKP lain yang ‘berinduk’ pada organisasi politik peserta Pemilu, lan-taran program-program satu dengan lainnya saling tumpang tindih, inefisien. Dan yang membuat OKP-OKP berang, KNPI lebih suka membangun akses dengan pembina dan elit politik. Melapor dulu, minta petunjuk, restu atau pujian, sebelum melaksanakan program. Serba takut : takut salah, takut ditegur, takut dicap ‘pembangkang’, takut tidak duduk di DPRD dan jenis “takut-takut lain”. Sejenis akumulasi rasa takut yang di zaman perjuangan Wolter Monginsidi di Sulawesi Selatan lebih pas dijadikan koki atau pengasuh anak ketimbang dijadikan anggota pasukan.
Aktualisasi program pun meniru sang “bos”, yakni suka hal-hal bersifat seremonial (upacara). Seperti sambil senyum-senyum senda gurau berseragam kaos atau jaket ber-foto bersama – atau diliput media TV – tampil dalam seremoni-seremoni pencanan-gan, semisal pencanangan penghijauan, lingkungan hidup, dan lain-lain. Atau ‘ba-tempel’ dalam seremoni rancangan birokrasi untuk menyambut kedatangan Menteri anu atau Menteri itu. Lalu usai seremoni, selesai-lah sudah. Stop, berhenti disini. Jangan ha-rap seremoni-seremoni itu lalu menjadi ba-gian naluri kepemudaan yang secara sadar dan bertanggungjawab meneruskan pem-bersihkan pantai Manado dari kotoran sam-pah, pasir dan – mungkin – beton, misalnya. Lantaran, seremoni yang kurang lebih sama sudah menunggu. Rutinitas program jenis itu saya sebut ‘gincu’ bukan ‘isi’, ‘aksi’ bukan ‘nasi’. Yang cukup dilaksanakan kader-kader berkualitas ‘ingin cepat enak’, kader hedonis alias menomorsatukan kenikmatan, kader lemah etos kerja, kader miskin nilai, kader – istilah Dr. Daniel Masengi – “penjilat” pen-guasa.
Tidak mengherankan bila dibanding ge-rakan moral tokoh-tokoh reformasi yang dilakonkan para mahasiswa dan LSM-LSM di kampus-kampus dan jalan-jalan di ibuko-ta, KNPI dan OKP-OKP pendukungnya tidak lebih dari peanuts (kacang-kacang).
Contoh paling aktual dari sikap mental seremonial adalah lakon Pokja Pasiar Ja-karta pimpinan Ketua KNPI Sulut Jeffry Rawis. Si Tukang Pos (ia menamakann dirinya demikian) dan kawan-kawannya ini terlambat menyadari betapa formalisme KNPI dalam sistem tidak menjadi jaminan selama tidak menyatu dengan hakikat moral kepemudaan itu sendiri. Kalau menyatu, niscaya Si Tukang Pos cukup berdaya men-gabaikan “pesanan” pembina dan elit politik yang - justru - menjadi sasaran reformasi. Ia akan “turun ke bawah” bergabung dengan moral dan hati nurani para mahasiswa dan pemuda, sehingga tidak terperangkap men-jadi - sekarang lazim disebut - “badot-badot politik”.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan manusiawi tokoh-tokohnya, serta bebas dari perilaku pembina dan elit politik terhadap KNPI, saya masih tetap termasuk pihak yang berpendapat wahana itu memiliki arti strategis dalam memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Apalagi dalam menghadapi kaum anti reformasi yang berlindung dibalik isu-isu desintegratif : SARA Suku Agama Ras Antargolongan.
Dalam pikiran ‘konservatif’ (sebagai-mana artikel saya hampir enam tahun lalu), makna strategis itu ialah sebagaimana subs-tansi Renungan Indonesia yang ditulis pemuda Sutan Syahrir semasa pembuangan di Ban-daneira. Disebut oleh Mudji Sutrisno – kembali meminjam Habermans – “memi-jarkan kecerdasan emansipatorik. Titik te-rang cahaya humanisme baru, mengental dan mengungkap bersama olahan-olahan renungan generasi pendiri Republik Indo-nesia lain : Bung Karno, Hatta, Agus Sa-lim”. Yang dalam konteks KNPI Sulut, da-pat diaktualisasikan sebagai menciptakan Sam Ratulangi, Maramis, Nani Wartabone, Santiago baru, yang teguh membawa panji-panji penolakan atas sederet nafsu jahat yang mau menguntungi kelompoknya sendi-ri, kepentingan sendiri, ego sendiri. Dan te-tap tulus dan jujur mencintai sesama, lepas dari apakah dia ini Kristen, Islam, Minahasa, Gorontalo, Bolaang Mongondow, Sangihe Talaud. Dengan tetap meletakannya dalam ruang segar nan damai, penghargaan atas harkat dan martabat sesama, yaitu “Torang bangsa Indonesia”.
Dengan program-program substansial yang menghasilkan kader-kader berkecer-dasan emansipatorik, niscaya KNPI akan tetap menempati posisi strategisnya. Tidak menjadi sekedar Si Tukang Pos, menjadi an-dalan pemuda, dambaan masyarakat, bangsa dan negara. Serta menjadi salah satu wahana pemuda Indonesia dalam perwujudan ke-manusiaan dan keindonesiaan.
Kalau sudah begitu, jika pun para kader bercita-cita menjadi anggota legislatif, peja-bat pemerintah, pengusaha, teknokrat, bu-dayawan, rohaniwan, alim ulama atau apa saja, sepanjang insan-insan kader KNPI memancarkan kecerdasan emansipatorik, tiada seorang pun yang berkeberatan. Tiada OKP yang akan menggugat. Dan legitima-sinya dalam sistem, GBHN, tetap dapat di-pertanggungjawabkan.
Maka jika pun KNPI akan direformasi dengan apa pun namanya, atau manakala pemuda-pemuda Indonesia berniat mendi-rikan beberapa organisasi semacam KNPI (dalam rangka kebebasan berserikat), pemu-da Sulut tidak perlu mencari identitas dan hakikat kader dari yang jauh-jauh. Berpalin-glah kepada sejarah. Di sana ada Sam Ratu-langie, Maramis, Nani Wartabone, Santiago, dan lain-lain. Tidak perlu merasa malu atau merasa ketinggalan zaman berdialog dengan masa lampau. Jepang, ad alah contoh soal. Dengan tetap mempertahankan semangat bushido, “roh” manusia Jepang kuno, bangsa ini berhasil mencapai tingkat kemajuan luar biasa dan nomor dua terkuat ekonominya di dunia sesudah Amerika Serikat. Seandainya Jepang meminjam “roh” asing dari Belanda atau membeli “roh sepak bola“ dari Brasil, belum tentu mereka mencapai tingkat kema-juan ekonomi seperti sekarang.
Dalam pemahaman kultural saya, tanpa menemukan kembali jatidiri pemuda Indo-nesia dalam “roh” para pendiri Republik, KNPI atau “jenis KNPI lain” selamanya hanya akan memancarkan kecerdasan in-strumental alias tetap ‘jalan-jalan di tempat’. Kalau sudah begitu, jangan salahkan sistem, jangan salahkan pembina dan elit politik. Salahkan saja diri sendiri, bila Sulut kelak hanya menghasilkan pemuda dan mahasiswa sebatas kualitas Si Tukang Pos. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar