Minggu, 04 Juli 2010

25. MUSNAHNYA TRADISI DEMOKRASI MINAHASA

Willy H. Rawung
MANADO POST 11 Juni 1998


KELOMPOK terkecil (rumah tangga) dalam masyarakat kuno Minahasa disebut awu. Jika karena perkawinan terbentuk beberapa kelompok awu (keluarga besar), maka mereka disebut taranak. Dan bila sesudah perkawinan antartaranak terbentuk taranak-taranak baru yang berdiam dalam satu wilayah tertentu, tempat itu disebut roong atau wanua. Pemimpinnya disebut ukung. Roong yang berkembang menjadi beberapa roong disebut walak.

Belakangan timbul istilah
pakasaan yang juga mempunyai arti tertitorial. Seperti halnya taranak dan roong, maka walak dan pakasaan adalah suatu mayarakat hukum. Terlihat pada pemilikan tanah yang disebut tanah pakasaan yang sampai akhir abad XIX masih dijumpai di Manado dan Amurang.

Paesaan in Deken adalah “DPR” yang dihadiri seluruh awu. Sekalipun bersifat musyawarah, faktor dominan masih pada sang ukung. Otoriterisme tetap berkemungkinan. Akan tetapi bila sang ukung melanggar ketentuan adat atau merugikan masyarakat, para awu dengan segala daya dan kekuatan akan menjatuhkan kekuasaan sang pemimpin.

Hal ini sering dilakukan rakyat dalam menghadapi para ukung yang
despot. Bila sudah demikian, Kompeni dengan segala kekuasaannya akan tunduk kepada rakyat dan memberikan persetujuan menurunkan sang pemimpin.

Robertus Padtbrugge (1679) dalam “Beschrijving der zeden en gewoonten van de bewoners der Minahasa” menulis bahwa di luar musyawarah resmi yang dipimpin para ukung atau pemimpin lainnya, ada pula “DPR” lain. “Orang-orang Minahasa (boeren: tani) sampai rakyat jelata di samping para ukung, juga memperbincangkan persoalan yang dihadapi. Dan keputusan-keputusan hanya diambil berdasar suara terbanyak, tanpa memperhitungkan adanya perbedaan dan pengecualian, seluruh
awu adalah peserta musyawarah. Dalam hal ini mereka tidak akan berubah, dan tidak ada satu kekuatan pun di dunia yang dapat menggeser mereka setapak saja, biarpun hal itu akan merugikan dan membawa kehancuran bagi mereka”.

Menurut budayawan Bert Supit, sumber kekerasan hati Minahasa saat itu adalah keyakinan bahwa para
opo (dewa) ada di pihak mereka. Jadi sekalipun paesaan in deken mengandung benih otoriterisme, musyawarah lain seperti yang disebut Padtbrugge menjadi peringatan bagi para ukung untuk tidak menyalahi ketentuan-ketentuan adat.

Dalam tradisi ini, para
ukung dibayangi terus oleh musyawarah yang sewaktu-waktu dapat dibuat para awu - kini sebut saja “komite reformasi” - untuk menjatuhkan sang pemimpin bila ia jahat dan tidak adil kepada rakyat.

Tatanan lain yang amat “berseberangan” dengan feodalisme terlihat pula pada suksesi
tu’ur in (kepala) taranak dan ukung yang sama sekali tidak didasarkan pada pewarisan dari ayah kepada anak.

Setiap orang yang memiliki kualifikasi
paeren telu : ngaasen (pandai) – niatean (berani, jujur, bersih) – mawai (kuat, sehat dapat diandalkan) dapat terpilih. Seperti diakui Dr. J.G.F. Riedel dalam De Minahasa in 1825: “Di Minahasa setiap orang dapat dipanggil (dipilih) untuk menjalankan pemerintahan …. dan ….. sesuai adat-istiadat di daerah ini, para paendon tua, para tua-tua dan pamatuan dipilih oleh para awu”.

***

Dalam perjalanan sejarah telah terjadi begitu banyak tantangan atas tatanan adat itu yang dimulai ketika pemerintah kolonial Belanda mulai turut campur merekayasa
tou Kawanua pro Belanda menjadi ukung. Akibatnya telah kita ketahui, Belanda harus membayar mahal atas campur tangan itu, yang antara lain memicu Perang Tondano (1808-1809).

Namun hemat saya, tantangan dan pemusnahan besar-besaran paling sistematis terhadap ketentuan-ketentuan adat Minahasa yang demokratis justru dilakukan selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Dengan dimasyarakatkannya feodalisme monarki Jawa dalam bingkai formalisme demokrasi (demokrasi palsu) yang berpusat pada kekuasaan satu orang : Pak Harto. Ditambah sim-bol-simbol monarki Jawa yang bagi masyarakat modern tidak lebih dari tahayul – misalnya mensakralkan tanggal 11 Maret - tradisi demokrasi Minahasa telah mengalami proses pemusnahan yang jauh lebih efektif ketimbang yang dilakukan kolonial Belanda selama 300 tahun.

Kita baru sadar betapa feodalistisnya Pak Harto saat untuk berhenti dari jabatan Presiden saja ia menggunakan istilah “lengser keprabon”, prosedur feodalistik yang menurut sejarawan Onghokham “tidak berarti lain daripada turun dari tahta kerajaan ”. Beliau merasa “menjadi penguasa mutlak (absolut), karena seperti raja-raja Jawa dahulu beliau adalah Paku Buwana. Kalau Paku itu dicabut maka Buwana (alam semesta) kiamat”.

Karena pemusatan kekuasaan pada satu orang adalah kata kunci dari feodalisme, maka dalam realita kekuasaaan, Pak Harto pun membuat Golkar, Menteri, Gubernur, Bupati, DPR-MPR sampai DPRD tidak lebih dari “para pelayan elit” dari beliau dan sanak keluarga.

Lalu sebab beliau adalah
patron client, “para pelayan elit” ini pun menjelma menjadi “soeharto-soeharto kecil”. bupati/nyonya menjadi “pelayan” dari gubernur/nyonya dan sanak keluarga, camat/nyonya menjadi “pelayan” dari bupati/nyonya dan keluarga, kepala desa/nyonya menjadi “pelayan” dari camat/nyonya dan keluarga. Ketua DPD II Golkar/Nyonya menjadi “pelayan” dari Ketua DPD I Golkar/Nyonya dan keluarga, dosen/nyonya menjadi “pelayan” dari dekan/nyonya, dekan/nyonya menjadi “pelayan” dari rektor/nyonya, dan seterusnya.

Lihat pula struktur dan penampilan organisasi Dharma Wanita. Tidak ada profesionalitas di sana. Setiap jabatan dipegang sesuai struktur yang sejajar dengan jabatan/kekuasaan sang suami. Dalam organisasi “kerajaan” itu misalnya, mustahil isteri Kepala Bagian yang S-III menjadi atasan Nyonya Gubernur yang mungkin saja tidak tamat SMA.

Lalu ketika Pak Harto memasyarakatkan nepotisme dengan memasang putra-putri dan sanak keluarga dalam dunia usaha, menjadi DPP-Golkar, anggota DPR-MPR dan memegang puluhan jabatan sosial, maka para Menteri, Gubernur, Bupati sampai Camat pun melakukan hal yang sama dalam lingkungannya. Gubernur dan Ketua DPD Golkar sama-sama punya sanak keluarga yang ditempatkan menjadi anggota DPR, MPR, DPRD, Bupati, Walikota, Camat dan pengusaha. Seperti ditulis Onghokham, “obsesi elit Indonesia dengan kekuasaan, jabatan dan status adalah segila obsesi orang Cina dengan uang, dengan ikut serta menegakkan orde patrimonial dan praetorian di Indonesia”.

Dalam praktek, nepotisme itu dikemas rapih dalam formalisme tatanan yang diretorika sebagai “sesuai perundang-undangan”, “sesuai mekanisme yang berlaku”, “atas kehendak rakyat”, atau “sesuai dengan profesionalisme”. Maka apa daya, rakyat biasa atau siapa pun profesional yang benar-benar dikenal, dicintai rakyat, harus tetap menerima nasib menjadi “pelayan” dari “para pelayan elit” itu. Sehingga saking berangnya, mahasiswa-mahasiswa reformis yang menduduki gedung DPR-RI menjelangnya turunnya Pak Harto menulis poster-poster, “Soeharto, Memangnye Negara ini Milik Mbah (Kakek)-mu ?”.

Untung bagi elit kekuasaaan di Sulut, para mahasiswa Manado termasuk dalam kategori “telaat mikir”. Kalau sama dengan Sumatera Barat saja, entah apa isi poster-poster mereka terhadap “soeharto-soeharto kecil” di Sulut.

***

April lalu di Manado, dalam diskusi kecil dengan Bung Suhendro Boroma dan Dr. Richard Siwu tentang “terkebelakangnya”nya mahasiswa-mahasiswa Sulut dibanding aksi-aksi reformasi mahasiswa di Jawa dan Sumatera, serta melihat betapa nepotisme telah merasuk kemana-mana. Saya mengemukakan penyebab dominan dari semua itu : musnahnya tradisi egaliter dan demokrasi Minahasa lantaran “ditelan habis” oleh tradisi feodalisme monarki Jawa.
Sehingga saya pun enggan mengkonfirmasikan lagi kebanggaan nilai-nilai leluhur Minahasa itu dalam artikel-artikel saya.

Namun Bung Suhendro Boroma berpendapat sebaliknya. Dengan menunjuk pada interaksi dalam masyarakat di luar tatanan birokrasi, terutama dalam hubungan antar-personal, ia melihat Minahasa masih egaliter dan demokratis.

Saya sendiri masih berharap pendapat sahabat ini lebih benar dari saya. Akan tetapi melihat betapa kuatnya realita kekuasaan “soeharto-soeharto kecil” yang berakar pada tradisi feodalisme monarki Jawanya Pak Harto, yang juga telah menjadikan begitu “enteng”nya gerakan reformasi mahasiswa Sulut, saya tetap pesimistik terhadap nasib tradisi leluhur saya itu. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar