Minggu, 04 Juli 2010

23. SULUT, MULAILAH REFORMASI !

Willy H. Rawung
MANADO POST 30 Mei 1998
CAKRAWALA 1 Juli 1998 diberi tajuk ANATOMI REFORMASI UNTUK SULUT!


HAKIKATNYA awal aksi-aksi Angkatan 66 yang bersama rakyat dan ABRI menurunkan Presiden Soekarno dan melahirkan Orde Baru memiliki kesamaan landasan dengan aksi-aksi mahasiswa yang melahirkan aksi-aksi reformasi, yakni landasan moral.

Bahwa Orde Baru ternyata harus dikoreksi total oleh landasan moral yang sama saat ia dilahirkan melalui aksi-aksi reformasi para mahasiswa, adalah karena Orde Baru telah teramat parah menderita erosi moral yang ditandai dengan marak dan membudayanya KKN (korupsi-kolusi-nepotisme) yang akhirnya mengakibatkan krisis kepercacayaan serta krisis ekonomi dan politik yang kian menyengsarakan rakyat.

Soal erosi moral memang telah dimulai sejak awal-awal berdirinya Orde Baru. Mengapa erosi moral ini baru bisa menurunkan Presiden Soeharto sesudah Pemilu keenam. Adalah karena ia dibentengi sistem politik yang dikatakan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo sebagai “5 paket UU politik sontoloyo”, yang lebih didesain untuk mencegah dan memberangus oposisi sekaligus memblokir kemungkinan terjadinya suksesi kemimpinan nasional secara demokratis.

Suatu sistem yang dengan mudah dapat digunakan oleh pembina dan elit menjadi machiavelistik. Yang dalam pengalaman Minahasa, misalnya, dapat disaksikan secara transparan dalam proses suksesi Bupati Minahasa yang nyaris membuat beberapa anggota DPRD Minahasa terkena recall karena dianggap melanggar instruksi “sang bos”.

***

Beberapa hari lalu melalui TV saya menyaksikan demonstrasi mahasiswa Sulut mendukung reformasi, yang konon berhasil mendaulat Gubernur Maingindaan menjadi pemimpin gerakan reformasi di daerah. Kendati agak ketinggalan kereta dari rekan-rekannya di Jawa dan Sumatera, apa yang dilakukan rekan-rekan mahasiswa lumayan baik, dari pada tidak sama sekali. Cuma saya kuatir aksi-aksi itu hanya sekedar ikut-ikutan, menjadi retorika politik atau retorika moral belaka, apabila mereka sendiri tidak mulai mewujudkan reformasi dengan langkah-langkah nyata dan pragmatis yang langsung bersinggungan dengan kepentingan rakyat.

Secara nasional, reformasi yang tuntas – konstitusional - memang memerlukan paket UU baru dan Pemilu yang mudah-mudahan lebih menjamin kedaulatan rakyat. Tetapi yang namanya memberantas kolusitor, koruptor dan nepotis itu, tentu tidak perlu menunggu UU baru dan Pemilu segala. Sebagai kekuatan moral (moral force), saat ini juga rekan-rekan mahasiswa seyogianya sudah dapat memantau dan bereaksi secara konkrit atas pelaksanaan reformasi di daerah.

Untuk soal ini, saya sendiri cenderung bertolak dari pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, yang dipahami dunia internasional tentang Indonesia sebagai
patron client. Suatu prinsip sederhana yang berakar kuat dalam kultur masyarakat; kalau sang pemimpin jujur dan hidup sederhana, maka gubernur, bupati, walikota, camat termasuk para KAKICIS (kakak-adik-anak-kemenakan-konco-istri-cucu-ipar-sepupu-saudara) mereka pun hidup sederhana. Jika gubernur hobi bermain sepak bola dan tenis, hampir semua birokrat bawahannya pun akan memaksakan diri menjadi “maradona” dan membeli raket. Pada era Gubernur C.J. Rantung yang suka berdansa pato-pato, tiba-tiba birokrasi Sulut pun terkena “demam” dansa. Bagusnya, ketika Gubernur Willy Lasut suka berdoa dan kemana-mana membawa Alkitab, patron itu pun diikuti para birokrasi daerah. Patron feodalistik yang – sayangnya - sering dijalankan secara munafik itu hanya rajin melahirkan ABS (asal bos senang) yang kemudian berkembang – se-cara negatif – dalam bentuk solidaritas ber-KKN.

Dari itu untuk memulai reformasi di Sulut saya memilih Gubernur Mangindaan sebagai patron. Bila beliau konsekwen memulai reformasi dari diri dan keluarganya sendiri, niscaya aparat di bawahnya pun akan berubah, kendati awalnya perubahan di kalangan bawahan akan penuh dengan kemunafikan, artifisial, ABS dan yang sejenis.

Saya yakin ia mampu menjadi pelopor. Keyakinan saya muncul setelah mendiskusikan langsung dengan beliau tentang hakikat rangkaian artikel saya sebelumnya dalam Manado Post yang – menurut beberapa rekan – amat keras dan beroposisi kepadanya. Ternyata ia seorang jendral populis yang berpikir teknokratis dan akademis, sarat idea serta berobsesi - “siap mati” – membangun Sulut demi menyamai provinsi-provinsi di Jawa.

Kelemahannya yang sempat menjadi sasaran kritik saya ialah, ia sedikit kurang piawai dalam jurus-jurus politik praktis. Sehingga tokoh-tokoh dalam lingkungan KAKICIS sering memanfaatkan (mengatas namakan) beliau dalam menjalankan manuver-manuver politik yang lebih banyak merugikan nama baik dan citra dirinya.

Bahwa hasil usahanya tidak sebanding dengan obsesinya tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepadanya. Karena selain staff dan birokrasi tidak kuat dan kurang profesional menampung gagasan-gagasan, mereka umumnya sudah sangat profesional dalam ber-KKN. Sebab itu saya katakan kepadanya, “Broer ibarat lokomotif baru yang sedang menarik kereta-kereta tua rusak di atas rel yang bengkok. Antara Broer dan staff terdapat perbedaaan visi, bahkan perbedaaan motif yang mendasar. Akibatnya, Broer menjadi kelelahan, cepat marah, sedih, frustasi dan merasa kesepian sendiri”. Dibalik kata-kata itu saya ingin menyiratkan bahwa birokrasi daerah yang dimasuki Mangindaan adalah sekawanan profesional KKN yang ibarat “perangkap” besar memancing dan menjebaknya untuk kemudian diterkam bertubi-tubi dengan aneka ragam “surat kaleng”.

Sebagai patron moral, saya ingin beliau mengawali pembersihan wabah KKN-KAKICIS di seluruh jajaran, dengan misalnya: Pertama, analog dengan penghapusan peran politik putra-putri mantan Presiden Soeharto, bergegaslah menghapuskan peran politik KAKICIS di semua lini politik.

Kedua, jabatan-jabatan birokrasi yang diduduki KAKICIS segera diganti dengan mereka yang pantas dan kompeten. Atau desaklah agar mereka dengan sukarela (tahu diri) mengundurkan diri dari jabatannya masing-masing.

Ketiga, mengingat begitu banyaknya anggota dan pimpinan DPRD Tkt. I dan II yang mewakili Golkar dari hasil KKN-KAKICIS, desak mereka sesegera mungkin undur diri untuk digantikan dengan wakil-wakil yang benar-benar handal, dikenal dan dicintai rakyat.

Keempat, kalau Musda Golkar masih jadi dilaksanakan (DPD I dan DPD II), tidak perlu memasukan KAKICIS dalam jajaran kepengurusan, walau birokrasi dan pimpinan Golkar membujuk rayu. Percayalah, hal itu tidak lebih dari jebakan politik yang dapat berakibat fatal.
Selanjutnya anggota-anggota DPRD yang masih tetap menjalankan usaha bisnis (kontraktor/supplier) disuruh memilih antara menjadi wakil rakyat atau pengusaha.

Kelima, hapuskan seluruh fasilitas bisnis yang diberikan langsung atau tak langsung kepada KAKICIS dan biasakan mereka berusaha secara
fair dan kompetitif.

Keenam, berhentikan bupati, walikota serta jajaran birokrasi yang jelas-jelas diketahui rakyat (rahasia umum) sebagai berperilaku amoral dan suka ber-KKN.

Ketujuh, beri teladan dalam cara hidup. Pakai saja mobil Kijang. Hilangkan kultur resepsi di jajaran birokrasi, kendati konon Sulut kurang terkena dampak krisis ekonomi. Naik pesawat cukup kelas ekonomi supaya lebih dekat dengan rakyat. Biar kalah aksi asal dicintai rakyat.

Kedelapan, persatukan seluruh rakyat Sulut dengan tanpa membedakan SARA serta keyakinan politik, termasuk para tokoh dan massa PDI Megawati.

Apabila saja Mangindaan berani mengawali langkah-langkah moral seperti di atas niscaya rakyat dan para mahasiswa akan memberi dukungan penuh. Sudah tentu para penentang (yang akan memberikan alasan-alasan politik praktis) akan datang dari KAKICIS yang berkolusi dengan para politisi munafik. Namun tepis saja penolakan mereka.

Dari pengalaman Soeharto, mereka yang memuji-muji hari ini, besok pagi bisa tiba-tiba menjadi orang yang justru “me-nyalibkan”. Mereka yang anti reformasi, bisa tiba-tiba dalam hitungan sekian detik bermetamorfosa menjadi pahlawan reformasi. Seperti ketua DPR/MPR Harmoko yang dua bulan lalu memimpin
standing ovation menyambut persetujuan aklamasi pemilihan Soeharto sebagai Presiden, tiba-tiba menjadi reformis yang meminta Soeharto mundur.

Maka Pak Gubernur, jangan kuatirkan apa pun sepanjang segala tindakan dilakukan bertumpu pada landasan moral dan berpihak kepada rakyat. Rakyat Sulut kini menunggu datangnya “pahlawan moral” yang adalah pemimpin sesungguhnya dari gerakan reformasi. Jangan sampai patron reformasi datang dari pinggir-pinggir jalan dan lorong-lorong.

Kiranya Tuhan tetap memberkati Sulut dan rakyatnya. Dan semoga tiada setetes darah pun tertumpah di bumi Nyiur Melambai selama proses reformasi berlangsung. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar