Minggu, 04 Juli 2010

22. “TONDANO YANG CONGKAK DAN ANGKUH ITU"

Willy H. Rawung
CAKRAWALA 1 April 1998

AGUSTUS 1809, Kapten Weintre menulis laporan kepada Residen Balfour di Manado : “5 – 7 Agustus 1809 … Temanku Balfour, Tondano telah mengalami nasibnya yang naas pada tengah malam. Seluruh Tondano telah menjadi lautan api. Aku harapkan tidak ada sisa lagi dari Tondano ini. Mereka yang tidak sempat menyingkir itu terdiri dari orang tua yang sakit, wanita dan anak-anak. Mereka yang selamat dari amukan api, dihabiskan
nyawanya oleh anggota-anggota pasukanku ... yang penuh dengki dan haus darah, ingin membalas kematian rekan-rekannya yang tewas dalam pertempuran sebelumnya karena muntahan peluru orang-orang Tondano. Saat menulis laporan ini, Tondano sudah menjadi tumpukan debu dan sama sekali hancur. Sehari setelah kemenangan kami, aku memerintahkan distrik-distrik (pakasaan-pakasaan) lain di Minahasa untuk membawa masing-masing 200 orang agar dapat membantu menghancurkan apa yang masih tersisa dan belum ditelan api, seperti kanon-kanon, tiang-tiang palisade yang terpancang di sekeliling kubu pertahanan mereka. Segala sesuatu, termasuk pepohonan, waruga-waruga aku suruh hancurkan, agar kelak tidak akan kelihatan bekas bahwa di tempat ini pernah ada pemukiman orang-orang Tondano. Alasanku melibatkan pakasaan-pakasaan dalam penghancuran sisa-sisa perkampungan orang Tondano ini, adalah untuk memperingatkan mereka di Minahasa akan nasib yang akan mereka alami bila berani menentang kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Senjata-senjata yang dapat disita masih kurang banyak. Dan aku duga orang-orang Tondano telah menenggelamkannya di danau. Selanjutnya aku akan mengejar pemimpin-pemimpin mereka yang sempat mengundurkan diri ke hutan-hutan (setimalun, pen) di sekitar Kapataran …”.
Balfour kemudian meneruskan laporan tersebut kepada atasannya Gezaghebber de Moluccas (semacam gubernur) Rudolf Coop a Groen di Ternate : “9 Agustus 1809 … Orang-orang Tondano yang congkak dan angkuh itu akhirnya dapat kita taklukkan. Pada malam tanggal 4 menjelang 5 Agustus 1809, kira-kira tengah malam, dimulailah serangan yang telah lama disiapkan ke arah pusat pertahanan orang-orang Tondano. Penyerangan dipimpin oleh Kapten Weintre dengan pasukannya. Setelah pasukan penyerang berhasil memasuki perkampungan orang Tondano, mereka mulai membakar rumah-rumah, dan segala sesuatu yang mereka termukan. Api yang menyala itu dipantulkan air danau, dan dapat dilihat dari jauh dari atas tembok-tembok di Fort Amsterdam ……“(Eddy Mambu SH, kutipan dari Bundel Ternate No. 116, Arsip Nasional dalam makalah “Pantang Mundur, Perang Ton-dano 1808-1809”, YKM Jakarta, 1986).

Laporan Weintre, alumnus Akademi Militer Breda Negeri Belanda tersebut bukan puisi, imajinasi, ilusi atau cukilan cerita sinetron. Tetapi laporan militer resmi, akurat dan jelas dari pihak musuh Minahasa. Yakni tentang bagaimana Minawanua – pemukiman orang-orang Tondano tempo doeloe yang dikelilingi benteng-benteng (moraya) di atas delta yang menyumbat air danau menuju hulu sungai Temberan - dijadikan ladang pembantaian (killing fields) rakyat Minahasa. Klimaks yang mengakhiri Perang Tondano (Perang Minahasa-Belanda) yang berlangsung antara tahun 1808-1809.

Suatu tragedi yang hanya mungkin dialami oleh suatu masyarakat yang memiliki tradisi pantang menyerah. Tradisi memilih melawan dan musnah ketimbang tunduk kepada musuh. Tradisi yang oleh Belanda dianggap congkak dan angkuh, tapi bagi zaman kita, adalah tradisi jiwa dan semangat kepahlawanan yang setiap 10 November diperingati untuk dilestarikan – utamanya - bagi generasi muda bangsa.

Seandainya saja Minahasa saat itu adalah kumpulan para pengecut dan pecundang, niscaya tidak aka ada pengorbanan dan pembantaian sebagaimana laporan militer Belanda itu.

***

Kalau kita boleh bertanya siapakah yang paling memiliki rasa hayat bersejarah terhadap perjuangan manusia Minahasa dalam konteks berbangsa dan bernegara? Maka saya akan menjawabnya : Gubernur dan DPRD DKI Jakarta serta Gubernur dan DPRD Jawa Barat! Mengapa?

Apabila Anda mendarat di bandar udara internasional Sukarno-Hatta dan memasuki jalan tol menuju Jakarta, anda akan setuju dengan saya. Sebab Anda akan melihat sign board berukuran besar bertuliskan Daan Mogot (orang Tangerang melafalkannya dengan “Da’an Mogot”) untuk nama jalan yang menghubungkan dua kota, Jakarta dan Tangerang. Masih dalam jaringan jalan tol yang sama saat memasuki wilayah segi tiga emas (kawasan elit dan termahal di Jakarta), sign board besar nama jalan akan menyambut anda pula: Tendean. Lalu bila anda berbelok menuju ke rumah kediaman Presiden Suharto di kawasan elit Menteng, mau tidak mau anda harus melewati dulu Jalan Sam Ratulangi.
Maka jangan heran bila di ruasruas ja-lan utama itu anda akan membaca Tendean Motor atau Mall Daan Mogot yang sama sekali tidak ada hubungan kepemilikan dengan keluarga kedua pahlawan tersebut. Lucunya, kebanyakan penghuni di kawasan tersebut dan kalangan sopir angkot (angkutan kota) pun tidak menyadari bahwa nama yang mereka sebutkan hampir setiap hari itu mengacu pada putra-putra Kawanua nan pahlawan bangsa.

Dalam memasyarakatkan rasa hayat bersejarah, kita pun perlu memujikan Bupati dan DPRD Kabupaten Tangerang, terutama masyarakat desa Lengkong dan pengelola perumahan elit Bumi Serpong Damai yang telah membangun megah sekaligus merawat monumen Pertempuran Lengkong yang telah menggugurkan Daan Mogot dan Subianto (paman Mayjen TNI Prabowo Subianto) sebagai kusuma bangsa itu.

Berkaca pada Jakarta dan Jawa Barat, saya heran mengapa stadion Tondano tidak diberi nama “Minawanua”, untuk menghormati para ibu, wanita, anak-anak, pemuda dan orang tua yang secara brutal dibantai habis oleh Kapten Weintre dan pasukannya.

Bagi saya nama “Maesa” yang terlanjur diberikan kurang bermanfaat. Sebab nama Maesa telah mendunia, bertebaran di seantero Nusantara sebagai klub olahraga bahkan sampai di Negeri Belanda dan California (Amerika Serika) menyertai para Kawanua disaphora. Sementara nama Minawanua dibiarkan terpuruk pada penggunaan lokal. Padahal bukankah lebih bijak menduniakan Minawanua dari pada melokalkan Maesa yang sudah mendunia.

Selain itu saya pun heran mengapa putra-putri Tondano tidak tergerak membangun monumen di delta Minawanua. Agar generasi muda dan anak keturunan kita dapat terus dirasuki jiwa, semangat dan pengorbanan Minahasa ketika melepaskan diri dari belenggu kolonial Belanda.

Saya juga merasa aneh, mengapa putera-puteri Tomohon tidak tergerak mengabadikan pahlawan Perang Tondano, Lontho - ukung Kamasi Tomohon yang heroik itu - untuk nama jalan yang menghubungkan Manado – Tomohon (sebagaimana Daan Mogot untuk nama jalan Jakarta–Tangerang).

Kalau saja saya putra Touliang, mungkin saya akan berusaha agar nama Tewu (Kepala Walak Touliang) diabadikan untuk jalan raya Tomohon-Tondano, serta Mamahit untuk nama jalan Tondano–Tonsea.

Sayang, saya juga bukan putra Tonsea. Sehingga saya tidak berdaya mengabadikan pahlawan penerima anugerah Bintang Republik Indonesia Utama Mr. Alexander Andrie Maramis - salah seorang pendiri Republik Indonesia - menjadi nama jalan yang menghubungkan Manado-Bitung. Paling tidak untuk menyaingi kecekatan pemberian nama Texas, California atau San Francisco pada nama-nama jalan di kota Manado.

Saya memang tidak berniat menyarankan pembuatan patung-patung pahlawan, karena yang terlihat berserakan di Minahasa dan Manado dibuat serampangan, tidak artistik, tidak proporsional, jauh dari imaji anatomis dan terkesan ditukangi secara “primitif”, berakibat kilas balik yang justru merugikan citra kepahlawanan tokoh-tokoh yang dipatungkan. Contoh, bagaimana kesan Anda melihat patung Sam Ratulangi di Jalan Bethesda Manado yang beranatomi “anak kecil” itu?

Barangkali kelak jika kita telah mampu membuat patung yang kualitas artistiknya dapat dipertanggungjawabkan, tiada salahnya mengganti patung kuda di gerbang kota (Paal Dua) dengan patung Mr. A.A. Mara-mis. Sebab, masakan kita lebih mengghormati kuda dari pahlawan besar itu.

Dalam rangka menanamkan rasa hayat bersejarah, alangkah baiknya pula bila Rektor UKIT (Universitas Kristen Indonesia Tomohon) dan ITM (Institut Teknologi Minahasa) mewajibkan para mahasiswanya mendalami hakikat kesejarahan Perang Tondano. Sehingga para mahasiswa Fakultas Teologia UKIT tidak hanya fasih dalam terminologi dan teori ilmu teologia dan berbagai macam isu global. Tetapi juga memahami substansi kepahlawanan delta Minawanua.

Saya kuatir mereka lebih kenal Pendeta Schwarz yang membuka Watu Pinawetengan in Nuwu (1888), Pendeta JGF Riedel atau Graafland dan para misionaris cikal bakal GMIM, ketimbang Lontho, Tewu, Mamahit, Matulandi, Maramis dan kusuma bangsa lainnya dari tanah Toar Limimuut.

Alangkah eloknya pula bila para kepala sekolah di Tondano secara rutin mengajak para pelajar berziarah ke delta bekas tempat pembantaian nenek moyang mereka yang – dijuluki Belanda – “orang-orang yang congkak dan angkuh itu”. Apalagi delta “sakral” itu telah dijadikan kawasan wisata budaya “kagetan” dengan nama Paleloan (tempat yang dirindukan), menenggelamkan makna historisnya yang luar biasa, sehingga membuat berang budayawan Eddy Mambu SH dalam sidang-sidang Majelis Kebudayaan Minahasa memberinya kata “plesetan” : tempat palela’an (bajingan). Sebab – konon - mulai dijadikan tempat rendezvouz yang mencemarkan tempat leluhur para pahlawan perang Minahasa itu.

***

Lontho dan kawan-kawan adalah pahlawan-pahlawan besar Minahasa di zamannya, dengan tipe yang ikhlas berkorban dan bersahaja (dalam kacamata Belanda bermakna “congkak dan angkuh”).

Keikhlasan berkorban dan kebersahajaan adalah tatanan nilai yang kian dibutuhkan dalam menghadapi tantangan-tantangan zaman global. Bak nukilan puisi Taufik Ismail, “Aku Rindu pada Zaman Yang Ikhlas dan Bersahaja” (Septermber 1989, seperti dimuat Tajuk “Kompas” 10 November 1992): “Inilah kesempatan emas bagiku / dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam / mereka yang mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekia-cendekia yang sangat belia / pemuda-pemuda yang memahat sebuah negara, remaja-remaja yang baru belajar menggenggam laras senjata / operator radio dalam rimba raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat / pelaut tanpa armada, penerbang yang merindukan sayap-sayap / para pemberani yang tabah menghadapi segala kemuskilan dalam beribu format / aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang jelas kelihatan / berambut hitam lebat / memakai pomade yang lengket dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan …“.

Sayang, saya bukan putra Tondano atau putra Tomohon. Sehingga saya hanya mampu mempersembahkan sejumput tulisan untuk para pemberani yang ikhlas dan bersahaja itu. Tanpa mampu membangunkan sedikit saja monumen atau mengabadikan manusia-manusia utama Minahasa itu pada nama-nama jalan utama di Manado dan Minahasa. Saya hanyalah alo dari ‘gunung’, berdialek Tountemboan kelahiran desa Paku Ure di wilayah seberang selatan sungai Ranoiapo. #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar