Sabtu, 03 Juli 2010

19. MENYAMBUT SIDANG DPRD PEMILIHAN BUPATI MINAHASA 4 Februari 1998

'HINDARI KEKERASAN, JAUHKAN PEMAKSAAN'

Willy H. Rawung
MANADO POST 3 Februari 1998

JUDUL INI dikutip dari kata-kata peneliti sastra Jakob Sumardjo dalam artikel
(Kompas 23/1/98), A Violent Order is Disorder (Sebuah pranata yang dilandasi kekacauan tak lain adalah bentuk kekacauan): "Kekerasan itu hanya baik buat bebek. Kalau ada bebek yang kwek kwek terus padahal rombongannya telah bungkam seribu bahasa, maka bebek yang satu itu mesti digebuk. Kekerasan itu hubungan tanpa dialog. Kopral dan prajurit itu hanya dapat mendengarkan perintah sersan mereka. Dan sersan tidak pernah salah. Bapak selalu benar. Tidak ada Bapak yang tidak benar. Pengaturan dengan kekerasan itu monolog. Dalam kekerasan yang ada hanya mata dan bukan telinga. Kekerasan itu tak mau mendengar. Kekerasan itu tuli. Kekerasan itu terlalu melihat. Sedikit mencurigakan digebuk. Bangsa ini tidak pernah tumbuh menjadi bangsa yang dewasa kalau digebuk di sana sini terus-menerus. Kedewasaan adalah kesadaran bahwa tiap orang itu memiliki kepentingannya masing-masing. Dan setiap kepentingan ini kalau dibiarkan bebas, akan menjadi keadaan chaos, kacau. Homo homini lupus ; manusia adalah serigala bagi sesamanya".

Sumadjo yang menyitir kata-kata penyair Walter Stevens itu pun mengingatkan kita akan sejarah umat manusia yang telah menyaksikan bangkit dan jatuhnya
violent order. "Kalau mau merusak jiwa manusia, silakan mengatur manusia dengan palu godam kekerasan. Kekerasan sebagai dasar pengaturan pada hakikatnya adalah pemaksaan dari satu pihak ke pihak lain. Dalam kekerasan hanya ada satu jalur komunikasi, yakni dari yang mengatur kepada yang diatur, tidak ada komunikasi timbal balik. Yang ada hanya yang memaksa dan yang dipaksa. Yang diatur tidak diberi kesempatan bicara. Yang diatur harus tunduk, harus menurut, harus percaya bahwa tindakan kekerasan itu demi kebaikan bersama". Sementara "pengaturan yang tidak mendatangkan kekacauan adalah pengaturan dialog. Pengaturan yang diterima dengan sukarela, dengan kesadaran. Pengaturan itu dijalankan oleh yang diatur dengan senang hati, karena itulah yang terbaik untuk hidup bersama. Karena dengan pengaturan demikian itu segala yang baik dapat dicapai. Pengaturan adalah kesadaran bersama, dite-tapkan bersama, disusun bersama, dan dis-ahkan bersama. Dan itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dewasa. Terhadap mereka yang belum dewasa tak mungkin dilakukan pengaturan berdasarkan dialog. Karena yang diajak dialog belum mampu memahami dasar dan hakikat pengaturan".

***

Artikel
Care Taker, Ada Apa ? (MP 14/1/98) yang menyorot proses pencalonan Bupati Minahasa membuat rumah dan kantor saya di Sawangan, Bogor, sedikit direpotkan beberapa penelpon dari Manado dan Minahasa. Mengkritik artikel itu sebagai terlalu keras, terlalu berani, ‘menurunkan wibawa Gubernur selaku pembina politik daerah’, serta berpihak kepada calon K.L. Senduk. Penelpon lain berpendapat, melekatkan status Ketua Adat dalam jabatan Bupati tidak rasional, tidak realistik dan mengaitkannya dalam pengambilan keputusan politik adalah kenaifan. Demikian pula jiwa dan semangat tonaas dianggap sebagai tidak relevan dengan zaman karena hanya mengganggu kredibilitas para anggota DPRD. Pokoknya para penanggap memustahilkan masalah-masalah politik diselesaikan secara kultural, apalagi dengan kultur Minahasa yang diangap ‘tipis’ dan kurang bermutu.

Kendati sedikit repot, datangnya kritik-kritik yang kompeten itu cukup mendatangkan sukacita dan patut dihargai. Karena dengannya bertambah pula substansi serta hal-hal positif dan bernilai yang lebih meluaskan cakrawala pemahaman saya tentang reaksi pragmatisme masyarakat terhadap pengembangan tatanan kultur Minahasa. Namun sayangnya selain telpon, mesin fax pun tiba-tiba menerima
junk mail, surat ‘kaleng’, yang isinya menista secara keji pembina dan elit politik daerah serta keluarganya.

Terus terang, saya sedikit emosional membaca surat buta yang menista pula harkat dan martabat keluarga sahabat dan mantan kakak kelas yang saya kenal dan hormati semasa menjadi aktifis GSKI dan KAPPI Sulut (1965/1966). Tanpa bermaksud untuk berapologia – maaf – pembuat surat kaleng itu tidak lebih baik dari ulah seorang pemabuk. Surat kaleng sama dengan memaksakan monolog, komunikasi satu arah. Karena pemabuk tidak mampu berdialog dan hanya bisa bermonolog, maka sang pengecut ini jelas-jelas adalah juga pelaku kekerasan. Bak kata bijak pepatah kuno,
lempar batu sembunyi tangan.

Maka kepada penulis surat kaleng, simaklah nasihat cendekia Amerika Prof. Irving Kristol, "yang paling mempesona dari keberhasilan bangsa Amerika mencapai kemajuannya seperti sekarang ini ialah salah satu penyebab utama keberhasilan tersebut, yakni kesediaan mereka untuk selamanya mempertanyakan secara radikal filosofis setiap langkah operasional pembangunan yang mereka jalankan" (sebagaimana dikutip H.N. Sumual dalam makalah
Baku Beking Pande Sebaga Usaha Filsafat Dengan Latar Budaya Minahasa pada Musyawarah Kebudayaan Minahasa, 1997).

Jadi apabila Anda ingin mengkritik, lakukan secara manusiawi, jujur, tulus dan bertanggung jawab. Bangun dan ciptakan dialog, atau buatlah artikel di media pers, supaya terbuka ruang untuk berdialog dan saling berkomunikasi dengan pihak-pihak yang dikritik. Kalau tidak setuju pemaksaan atau kekerasan, jangan menghalalkan kekerasan demi mengatasi kekerasan. Setiap kekerasan terhadap kekerasan hanya akan mengakibatkan kekerasan dan kekerasan. Itulah yang disebut
homo homini lupus; manusia serigala bagi sesamanya.

Berbeda dengan surat kaleng, kritik yang dilakukan secara terbuka, transparan memungkinkan terciptanya dialog, saling berkomunikasi. Karena memang itulah tujuan setiap kritik. Hanya dari dialog, komunikasi berjalur dua arah kita dapat menuju saling kesepahaman, saling menghargai, demi memajukan kemanusiaan.

Untuk itu sang pengkritik mesti membebaskan diri dari rasa iri dan dengki, lepas dari rasa amarah, rendah hati, jauh dari persekongkolan, kompeten, serta bertanggung jawab kepada Tuhan dan kepada sesama. Dengan begitu kritik bernilai falsafi
baku beking pande, juga imaniah – atau kalau boleh - nabiah !.
Hanya dengan memelihara rambu-rambu demikian kita boleh mengharapkan terjadinya perubahan atau pembaharuan mendasar dalam perwujudan harkat dan martabat kemanusiaan.

***

Kesadaran inilah yang mendorong saya bereaksi dengan keras, seusai menyaksikan salah seorang anggota DPRD Sulut menyampaikan pesan pembina politik daerah agar salah seorang calon mengundurkan diri dari pencalonan. Sementara sebelumnya berulangkali dinyatakan kepada khalayak bahwa siapa yang terpilih diserahkan sepenuhnya pada keinginan rakyat (baca : DPRD).

Reaksi diperlukan untuk mengingatkan pembina dan elit politik agar tetap bersikap konsisten menjaga kredibilitas. Sebab setiap perilaku lain kata lain perbuatan - lain pernyataan resmi lain ‘instruksi’ - dapat mengakibatkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah, yang kita ketahui telah menjadi salah satu faktor yang memperparah krisis moneter yang sedang melanda bangsa.

Dalam tatanan birokrasi, pesan untuk mundur yang datang dari pembina politik selaku atasan diterima sebagai perintah, tidak boleh dibantah oleh bawahan. Oleh kita, khalayak di luar birokrasi, pesan itu dipahami sebagai pemaksaan. Dan mengingat perlakuan yang sama dengan kekerasan itu telah diberlakukan kepada calon yang masih menjabat Ketua Adat Minahasa, niscaya kekerasan pun dapat saja diberlakukan terhadap para anggota DPRD, memaksa para wakil rakyat yang terhormat itu memilih calon yang berlawanan dengan suara hatinya sendiri.

Hal ini tentu perlu dicegah, kritik perlu disampaikan. Bahwa kritik lebih tertuju pada tanggung jawab dan kredibilitas pembina politik daerah - kiranya dapat dimenegerti - lantaran selain bergelar adat
Tonaas Wangko Minahasa, hanya ‘instansi’ ini yang memiliki daya untuk secara langsung dapat mencegah atau menyudahi terjadinya pemaksaaan atau kekerasan.

Dalam bahasa sopan kritik ini berbunyi: untuk dicintai rakyat, hendaknya pimpinan daerah mampu membangun iklim politik yang kondusif agar para wakil rakyat dapat menjalankan tugas menyuarakan hati nurani rakyat dengan sebaik-baiknya.

Dari contoh sejarah
violent order, politik kolonial Belanda yang menderitakan rakyat dalam Perang Tondano 1808-1809, permainan politik era Orde Lama yang menyengsarakan rakyat, dan dari proses pemilihan bupati-bupati Minahasa pada masa silam, kita telah belajar bahwa pemaksaan atau kekerasan justru menggagalkan substansi tujuan, dan berpotensi menimbulkan kekacauan dan menghilangkan kepercayaan rakyat.

Maka kepada
Tonasas Wangko kita yang adalah pencinta Minahasa, pencinta Sulut dan penghormat harkat dan martabat bangsa, jauhkanlah kiranya segala bentuk pemaksaan dan kekerasan dalam sidang pemungutan suara DPRD yang akan memilih Bupati/Ketua Adat baru. Ingat-ingatlah, kekerasan hanya baik buat bebek, tidak baik bagi kemanusiaan dan tidak sepatutnya diterapkan terhadap keturunan Toar Lumimuut.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar