Sabtu, 03 Juli 2010

18. PENCALONAN BUPATI MINAHASA 1998 – 2003

CARE TAKER? ADA APA?

Willy H. Rawung
MANADO POST 14 Januari 1998

MENGAMATI proses pencalonan Bupati Minahasa sejak awal, jauh-jauh hari saya telah memprediksi bahwa akibat kepemimpinan politik daerah yang labil, tidak konsisten dan jauh dari kearifan, terdapat tanda-tanda pencalonan akan terkatung-katung yang memungkinkan terjadinya perpanjangan jabatan Bupati.

Namun yang lebih mengejutkan adalah keterangan pers Gubernur Mangindaan
(Suara Pembaruan 8/1/97) yang menyatakan akan menjabat Care Taker Bupati dan menunjuk Wakil Bupati Tanor selaku Pelaksana Harian, jika sampai tanggal 21 Januari Mendagri tidak menurunkan calon-calon yang akan dipilih.

Mengejutkan, karena keputusan ini tidak lazim dan belum tentu sesuai dengan prosedur dan perundang-undangan, selain bisa juga bermakna calon-calon akan ditentukan oleh Mendagri baru dalam Kabinet mendatang. Sementara Care Taker sendiri dapat berarti DPRD akan mengulang proses penjaringan calon yang bermuara pada tertutupnya kesempatan bagi salah satu dari kelima calon – K.L. Senduk, A.J. Sondakh, Dolfi Tanor, Boy Tangkawarouw, Edwin Sumampouw - berkantor di Sasaran Tondano. Kalau sudah demikian, skenario berikutnya akan membuka peluang datangnya calon baru dari kalangan ABRI.

***

Deputi PM Singapura Lee Hsien Loong menyatakan bahwa kemakmuran negara bisa hilang dalam semalam apabila rakyat kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Rumus ini jelas berlaku pula bagi Indonesia, termasuk Minahasa. +

Sebab itu dalam krisis ekonomi yang menyebabkan golongan menengah ke bawah makin terpuruk dengan harga barang terus melonjak, pembeli stress serta pedagang kebingungan, Gubernur dan seluruh elit politik daerah hendaknya berkesadaran ikut menjaga kepercayaan rakyat. Tidak lagi melukai hati rakyat, tetapi menciptakan iklim politik yang sesejuk-sejuknya bagi Minahasa. Sejajar dengan pernyataan Wagub Lemhanas Juwono Sudarsono bahwa keberhasilan bangsa mengatasi krisis ekonomi sekarang tergantung pada cara dan gaya hidup kalangan atasnya dalam 3 - 4 bulan terakhir.

Maka mestinya dalam masa keprihatinan nasional ini
Tona’as Wangko Mangindaan seharusnya memberi suri tauladan serta mengerjakan tanggungjawab pembinaan politik daerah dengan sebaik-baiknya. Karena jika Bupati harus sampai di-care taker-kan, berarti terjadi set back (kemunduran) yang memalukan dalam pembinaan politik di Minahasa. Stabilitas politik serta persatuan kesatuan yang telah terbina bertahun-tahun sebagai hasil usaha Gubernur G.H. Mantik dan C.J. Rantung akan kehabisan makna.

Demi kecintaan kepada Minahasa saya ingin menegaskan bahwa kalau sampai hal ini terjadi, maka yang harus memikul tanggung jawab adalah Gubernur Mangindaan sendiri. Karena saya setuju dengan analisis Profesor Jamie McKie dari Studi Asia dan Pasifik Universitas Nasional Australia bahwa “sebagian besar negara-negara di kawasan Asia masih memusatkan kekuasaan pada satu orang. Pribadi menjadi pemegang peran dalam sistem yang tidak tampak”.

Sehingga menjadi sejuk atau akan tabobale-tabobalenya iklim politik, atau apakah para anggota DPRD yang
nota bene adalah tonaas-tonaas Minahasa dapat membawakan suara hati nurani rakyat atau tidak, ditentukan oleh pembina dan elit politik daerah, jakni gubernur.

Maka saya sempat menegur seorang anggota DPRD Sulut yang ditugasi menyampaikan amanat kepada salah seorang calon Bupati Minahasa untuk mundur dari pencalonan. Karena pertama, secara administratif dan etis desakan itu amat musykil walau mungkin ia bersedia melakukannya.
Kedua, mengapa calon tersebut disuruh mundur sementara pembina politik merestui dan mendorong pencalonan pihak lain.
Ketiga, mengapa salah seorang calon lagi yang - menurut kalangan DPPRD - tidak mendapat izin resmi dari Mendagri tetap diteruskan pencalonannya.
Kepada anggota DPRD Sulut tersebut saya tegaskan bahwa secara kultural, amanat gubernur mendesak mundur salah seorang calon Bupati tadi kurang etis.

Memang dengan Senduk masih dicalonkan untuk menjabat lima tahun lagi membuat ia menjadi fenomenal. Fenemona pertama, ia adalah pejabat sipil pertama di era Orde Baru yang menduduki jabatan Bupati Minahasa.
Fenomena kedua, kebupatiannya membenamkan mitos palsu para politisi kolot yang berpendapat bahwa lantaran Minahasa
sadiki unik maka mesti dipimpin bupati yang ABRI.
Fenemona ketiga, ia adalah bupati sipil pertama yang menjabat lima tahun penuh (sejak 1947, rekan-rekannya yang sipil hanya menjabat paling lama tiga tahun). Fenomena keempat, selama lima tahun berkantor di Tondano ia membuktikan bahwa seorang profesional birokrat – bila diberi kesempatan - mampu memimpin rakyat Minahasa tanpa gejolak sosial seperti semula dipersangkakan.
Fenomena kelima, selama menjabat Ketua Adat Minahasa (jabatan yang melekat pada kebupatiannya), ia menjadi ‘lokomotif’ - yang bersama Majelis Kebudayaan Minahasa - mengembangkan dan memperkenalkan budaya Minahasa sampai ke tingkat nasional. Peran yang hanya dapat dibandingkan dengan almarhum Kolonel Alex Lelengboto (Bupati 1982-1987).
Fenomena keenam, ia berani melakukan kaderisasi konkrit di antara para birokrat yang antara lain melicinkan jalan bagi Tanor menjadi Wakil Bupati, sekaligus menjadikannya pesaing serius dalam pemilihan Bupati.
Serius, karena dalam urutan usulan kepada Mendagri, DPRD Minahasa didesak menempatkan Tanor sebagai calon urutan pertama, sementara Senduk diturunkan di peringkat ke empat alias ‘kuda kento’ atau ‘pendamping’.
Fenomena ketujuh, jika Senduk terpilih kembali untuk masa jabatan kedua, akan terhapus rumor politik bahwa percaturan politik daerah lebih ditentukan oleh ‘kelompok elit tertentu’ ketimbang fraksi-fraksi resmi di DPRD.
Fenomena kedelapan, jika Senduk terpilih lagi, pupus pula rumor politik seolah-olah pimpinan daerah sering berlaku
nepotis (cuma pilih keluarga) dalam menetapkan pejabat-pejabat di Sulut.

* * *

Menarik garis dari sekumpulan fenomena ini saya heran mengapa sejak awal Senduk tidak diarahkan secara jelas dan pasti menjadi calon unggulan untuk masa jabatan kedua. Sebab dalam tradisi politik Orde Baru, setiap gubernur atau bupati yang masih menjabat dan dicalonkan lagi mesti terpilih oleh DPRD. Apalagi yang bersangkutan telah mengukirkan nama Minahasa dalam berbagai prestasi nasional.

Coba kita pikir, voor apa torang pe Ketua Adat
ngoni taru di pohong kong cuma voor ngoni mo cungkel-cungkel ulang. Kalau memang Senduk tidak lagi disukai - sesuai tradisi politik Orde Baru - tidak perlu mengirimkan namanya ke Mendagri sebagaimana yang sudah dilakukan sekarang.

Tentu kita boleh mendebat atau menjungkirbalik tradisi ini dengan berbagai argumen politik. Namun memilih kembali Bupati yang masih menjabat Bupati bukan saja soal akal sehat, tetapi lebih pada sikap moral dan etika politik.

Orang boleh saja memberi pembenaran bahwa tidak memilih Bupati yang sedang menjabat adalah sah-sah saja dalam Minahasa yang egaliter dan demokratis. Namun perlu dipahami, Minahasa tidak
machiavelis, yang menghalalalkan segala cara demi pencapaian tujuan. Sehingga se-egaliter dan se-demokratisnya Minahasa, keturunan Toar Lumimiuut ini tidak amoral dan tidak nintau hadat, tetapi penjunjung tinggi nilai-nilai moral, nilai-nilai adat dan etika yang hakikatnya relevan dengan nilai luhur Demokrasi Pancasila.

Maka kali ini kita berharap betul pembina dan elit politik menciptakan kondisi yang kondusif agar para wakil rakyat di DPRD Minahasa menjadi sekumpulan
tonaas-tonaas abad kini yang memiliki keberanian menjunjung tinggi nilai-nilai luhur itu. Kalau Tona’as Wangko/Gubernur E.E. Mangindaan selalu berikrar “saya berani mati untuk Sulawesi Utara dan saya berani mempertaruhkan kursi gubernur untuk kesejahteraan rakyat Sulawesi Utara”, maka seyogianya para tonaas di DPRD Minahasa pun diarahkan untuk bertekad dan bersemangat juang yang sama dengan beliau.

Tidak keok karena kuatir dengan ancaman
recall, berani melestarikan akal sehat, tegas menyuarakan hati nurani rakyat dengan teguh mengatakan ya di atas yang ya dan tidak di atas yang tidak.

Hal ini - sekali lagi - hanya dimungkinkan jika pembina dan elit politik menciptakan kesejukan dalam iklim politik, dan tidak menambahi beban lagi kepada rakyat yang sudah sangat menderita menghadapi resesi ekonomi.

Akhirnya, perkenankan saya mengimbau
Tonaas Wangko kita untuk sesegera mungkin melobi Mendagri agar Minahasa tidak terperangkap dalam institusi Care Taker, yang kalau sempat terjadi berarti langkah mundur. I Yayat U Santi!#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar